Jumat 05 Mar 2021 13:57 WIB

Diplomat Myanmar Melawan Pemerintahan Militer

Diplomat Myanmar di AS mengundurkan diri

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
 Pengunjuk rasa anti-kudeta melepaskan alat pemadam kebakaran untuk melawan dampak gas air mata yang ditembakkan oleh polisi selama demonstrasi di Yangon, Myanmar Kamis, 4 Maret 2021. Demonstran di Myanmar yang memprotes kudeta militer bulan lalu kembali ke jalan-jalan pada hari Kamis, tidak gentar oleh pembunuhan tersebut. setidaknya 38 orang pada hari sebelumnya oleh pasukan keamanan.
Foto: AP
Pengunjuk rasa anti-kudeta melepaskan alat pemadam kebakaran untuk melawan dampak gas air mata yang ditembakkan oleh polisi selama demonstrasi di Yangon, Myanmar Kamis, 4 Maret 2021. Demonstran di Myanmar yang memprotes kudeta militer bulan lalu kembali ke jalan-jalan pada hari Kamis, tidak gentar oleh pembunuhan tersebut. setidaknya 38 orang pada hari sebelumnya oleh pasukan keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Misi diplomatik PBB di New York dan AS meluncurkan sanksi baru yang menargetkan konglomerat militer Myanmar sebagai tanggapan tindakan keras aparat terhadap pengunjuk rasa damai penentang kudeta.

Misi Myanmar PBB mengkonfirmasikan bahwa Duta Besar Kyaw Moe Tun tetap menjabat. Junta memecat Kyaw Moe Tun pada Sabtu (27/3) setelah dia mendesak negara-negara di Majelis Umum PBB menggunakan segala cara yang diperlukan untuk membalikkan kudeta.

Baca Juga

Di Washington, tidak jelas apakah kedutaan Myanmar masih mewakili junta. Seorang diplomat di kedutaan juga mengundurkan diri dan setidaknya tiga lainnya mengatakan dalam unggahan di media sosial mereka bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil melawan pemerintah militer.

"Ini adalah dorongan bagi kami yang akan turun ke jalan besok,"  tulis pengguna Facebook U Zay Yan, menanggapi berita tersebut. Penyelidik hak asasi manusia PBB di Myanmar, Thomas Andrews mendesak Dewan Keamanan untuk memberlakukan embargo senjata global dan sanksi ekonomi yang ditargetkan pada junta yang sekarang dikendalikan oleh militer dan sumber pendapatan terbesarnya.

Aktivis pro-demokrasi mengatakan bakal menggelar lebih banyak aksi protes massa di Myanmar Jumat (5/3) untuk menentang kudeta dan pembebasan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan tahanan lain.

Baca juga : Jenazah Kyal Sin, Remaja Demonstran di Myanmar Dimakamkan

"Federasi kami akan berada pada jalan nya untuk melawan rezim militer bersama-sama dengan rakyat," ujar Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma.

Aparat kepolisian membubarkan demonstrasi dengan gas air mata dan tembakan di beberapa kota di Myanmar pada Kamis (5/3). Pengunjuk rasa kembali ke jalan setelah PBB mencatat sekurangnya 38 orang telah tewas pada Rabu (3/3), hari paling berdarah dalam protes hingga sekarang.

Kepala hak asasi manusia PBB Michelle Bachelet menuntut pasukan keamanan Myanmar menghentikan tindakan kekerasan dan kejam terhadap pengunjuk rasa damai. Bachelet mengatakan lebih dari 1.700 orang telah ditangkap, termasuk 29 wartawan.

Juru bicara dewan militer yang berkuasa tidak menjawab panggilan telepon untuk meminta komentar mengenai hal ini. Pengganti dari junta untuk misi Myanmar pun memilih mundur.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement