REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum maksimal menjatuhkan tuntutan kepada Djoko Tjandra. Penuntut umum dinilai cenderung menafikan peran sentral Djoko Tjandra dalam perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO).
"JPU cenderung menafikan peran sentral terdakwa dalam kejahatan yang ia lakukan," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Jumat (5/3).
Kurnia melanjutkan, penilaian itu berdasarkan pada sedikitnya tiga indikator. Pertama, JPU dimungkinkan untuk menuntut Djoko Tjandra hukuman maksimal lima tahun penjara berdasarkan regulasi yang ada, alih-alih hanya empat tahun. Kedua, denda yang dituntut oleh penuntut juga hanya senilai Rp100 juta.
"Mengingat kejahatan yang ia (Djoko Tjandra) lakukan, semestinya penuntut menuntut maksimal hingga Rp250 juta," ujar Kurnia.
Ketiga, penuntut umum juga tidak menjadikan latar belakang kejahatan yang dilakukan Djoko Tjandra dalam menjatuhkan tuntutan. Terlebih dalam melakukan perbuatannya, Djoko Tjandra sudah berstatus terpidana. Seharusnya, hal tersebut bisa dijadikan dasar pemberat tuntutan.
"Tak hanya itu, tindakan Djoko Tjandra yang telah mencoreng institusi penegak hukum dengan menyuap oknum Jaksa dan perwira tinggi Polri. Namun sepertinya hal itu luput dijadikan dasar pemberat tuntutan," kata Kurnia.
Selain itu, lanjut Kurnia, regulasi pemidanaan bagi pelaku pemberi suap memunculkan problematika tersendiri. Lantaran, ia menilai, hukuman yang diatur dalam regulasi tersebut kurang ideal bagi pelaku.
"Dapat dibayangkan, hukuman maksimal bagi pelaku pemberi suap hanya lima tahun penjara. Model ini sebenarnya tidak layak bagi seorang Djoko Tjandra, yang harusnya dapat dihukum penjara seumur hidup," katanya.
Atas hal itu, kata Kurnia, ICW mendorong agar majelis hakim dapat mengesampingkan tuntutan penuntut umum dan menghukum maksimal Djoko Tjandra.
Tak hanya itu, ICW juga mendesak KPK untuk melakukan pengembangan perkara Djoko Tjandra dengan menyelidiki peran pihak-pihak lain yant kemungkinan terlibat.
"Sebab, sampai saat ini, ICW masih meyakini ada beberapa orang yang tergabung dalam klaster politik, penegak hukum, dan swasta yang belum dijerat oleh penegak hukum," kata dia.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum meminta Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap Djoko Tjandra. Penuntut Umum menyatakan terdakwa perkara pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) serta penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi berupa suap kepada pejabat penyelenggara negara.
Selain terbukti bersalah, dalam amar tuntutan, penuntut umum juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi justice collaborator atas surat yang diajukan tertanggal 4 Februari 2021. Penuntut umum menganggap Djoko Tjandra merupakan pelaku utama dalam kasus dugaan suap pejabat negara. Hal tersebut karena Djoko Tjandra berposisi sebagai pihak pemberi suap.
"Menyatakan permohonan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra untuk menjadi justice collaborator tidak diterima," ucapnya.
Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 65 ayat (1) dan (2) KUHP.