REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Kimnas HAM), Beka Ulung Hapsara, menilai, penetapan tersangka enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) oleh kepolisian dilakukan terburu-buru. Pihak kepolisian semestinya berhati-hati dan melihat segala aspek sebelum mengambil keputusan.
"Kami melihat penetapan tersangka, meskipun itu kemudian dibatalkan oleh Kabareskrim demi hukum, terburu-buru prosesnya. Saya kira polisi harus berhati-hati dan melihat semua aspek sebelum mengambil tindakan atau keputusan," ungkap Beka lewat sambungan telepon, Jumat (5/3).
Dia juga mengatakan, pihaknya masih menunggu langkah lanjutan dari kepolisian terkait dengan rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh Komnas HAM. Menurut dia, tiga orang anggota kepolisian yang dijadikan sebagai terlapor merupakan satu langkah maju, namun masih ada langkah-langkah lain yang diperlukan.
"Itu kan satu langkah maju beberapa waktu belakangan ini. Tetapi ini kan baru satu langkah. Masih ada langkah-langkah lain sampai ke pengadilan. Nah, Komnas menunggu pada tahapan-tahapan itu," kata dia.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyarankan proses hukum terhadap enam orang anggota Laskar FPI yang meninggal dalam kasus KM50 tidak diteruskan. Itu perlu dilakukan agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan tidak membuat masyarakat semakin tak percaya hukum.
"YLBHI menyarankan tidak meneruskan proses hukum ini, agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan juga tidak membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, dalam keterangan tertulis, Kamis (4/3).
Isnur mengatakan, YLBHI memandang penetapan tersangka tersebut sangat aneh dan bertentangan dengan pengaturan dan prinsip hukum acara pidana. Menurut dia, jika dianggap sebagai sebuah standar penegakkan hukum, maka itu akan berbahaya.
"Pasal 77 KUHP menyebutkan 'kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia'. Jika mengikuti 'permainan' kepolisian dalam kasus enam orang FPI, maka seharusnya kepolisian juga meneruskan kasus Soeharto dan lain-lain," ungkap dia.
Selain itu, Isnur juga mengungkapkan, dalam ketentuan hukum acara pidana juga dijelaskan, tersangka memiliki serangkaian hak untuk membela diri dan membantah tuduhan, mengajukan saksi yang meringankan, hak atas bantuan hukum dan lainnya. Maka, dalam kasus ini, dia mempertanyakan terkait hal tersebu.
"Bagaimana pula tersangka bisa melakukan hal-hal terkait haknya ini? Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang kasus enam orang anggota FPI, tetapi tentang bagaimana Indonesia sebagai negara hukum yang tegas disebutkan oleh Pasal 1 ayat (3) Konstitusi tegak dan berlaku," kata Isnur.