Sabtu 06 Mar 2021 08:57 WIB

Paradoks Indonesia: Seruan Jamaah Subuh dan Kearifan Lokal

Seruan Jamaah Subuh dan Kearifan Lokal

Seorang jamaah masa pandemi Covid-19.
Foto: EPA/NOUSHAD THEKKAYIL
Seorang jamaah masa pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan traveller.

Wali Kota Bukittinggi Erman Safar mewajibkan semua aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Pemko Bukittinggi untuk shalat Subuh berjamaah. Hal ini akan dilaksanakan setiap hari Jumat dan dimulai pada Jumat (5/3). [Republika, 3/3]

Kebijakan itu diapresiasi oleh banyak pihak. Namun, di antara dukungan itu ada juga pihak-pihak yang mempersoalkannya, termasuk anggota dewan.

Inilah paradoks yang selalu terjadi di negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini. Setiap kali ada kebijakan yang sesuai syariat, justru selalu diusik dan ironisnya yang mengusik sesama Muslim sendiri.

Bandingkan dengan daerah lain, atas nama kearifan lokal pemerintah daerahnya mengeluarkan kebijakan meliburkan ASN dan sekolah untuk perayaan atau upacara tertentu, tak ada yang mempermasalahkan.    

Jamaah shalat Subuh adalah indikator kualitas umat. Dalam sejarahnya, kebangkitan peradaban selalu ditandai dengan penuh sesaknya shaf shalat Subuh laiknya shalat Jumat.

Shalahuddin al-Ayyubi melihat kesiapan pasukannya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari jamaah shalat Subuh. Setiap hari ia mengamati jumlah jamaah di masjid-masjid. Setelah dirasa cukup, barulah ia menyusun strategi militernya.

Itu pun ia tetap berhati-hati dengan hanya membawa tak kurang dari separuh pasukan terbaiknya. Ia paham betul, kemenangan pasukan Muslimin tak pernah ditentukan dari besarnya jumlah, tapi dari kualitas kesalehan prajuritnya.

Tiga abad kemudian pola yang sama diulang Muhammad al-Fatih. Ia menentukan kapan waktu untuk memobilisasi pasukan menuju benteng Konstantinopel berdasar kondisi jamaah shalat Subuh.

Hasilnya tak main-main, 250 ribu pasukan terbaik yang dibawanya adalah orang-orang yang tak pernah meninggalkan jamaah Subuh dan shalat fardhu lainnya sejak baligh.

Mereka inilah manusia-manusia terpilih yang telah diisyaratkan Rasulullah SAW melalui lisan mulianya sebagai pasukan terbaik.

Salah satu riwayat yang masyhur tentang keutamaan jamaah shalat Subuh adalah kisah sahabat mulia Anas bin Malik yang selalu menangis manakala mengingat penaklukan Tustur. Tustur adalah bagian dari wilayah Persia.

Apa pasal? Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitab Al Bidâyah wan Nihâyah, pada waktu itu terjadi pertempuran yang sangat sengit. Kondisi tidak memungkinkan pasukan Muslimin untuk meninggalkan pertempuran.

Hingga tanpa sadar matahari telah tinggi saat kemenangan didapat. Maka, menangislah sahabat Anas bin Malik karena untuk pertama kalinya dalam sepanjang hidupnya ia harus kehilangan jamaah shalat Subuh. Padahal, yang dilakukannya sah menurut syariat karena berada di tengah kecamuk medan jihad.

Begitu pentingnya jamaah shalat Subuh hingga Yahudi mengatakan, “Kami baru takut pada umat Islam jika mereka telah melaksanakan shalat Subuh seperti melaksanakan shalat Jumat. Karena itu pertanda kehancuran kami sudah dekat.”

Apa yang dilakukan di Bukittinggi harusnya bisa menggelora ke seluruh negeri, karena merupakan pertanda dekatnya kemenangan yang dijanjikan.

Wa ukhrā tuḥibbụnahā, naṣrum minallāhi wa fat-ḥun qarīb, wa basysyiril-mu`minīn

“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” [QS As-Shaff:133].

Jakarta, 5/3/2021

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement