REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diskusi politik ke-12 pada Jumat (5/3) kembali digelar Moya Institute yang diselenggarakan secara virtual dan luring menyesuaikan dengan protokol pandemi Covid-19. Webinar bertemakan 'Demokrasi Indonesia di Simpang Jalan'' tersebut menghadirkan pembicara kunci Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta.
Adapun pembicara lainnya, yaitu Waketum Partai Gelora Indonesia Fahri Hamzah, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Prof Komaruddin Hidayat, pengamat politik internasional Prof Imron Cotan, serta Direktur Eksekutif Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah.
Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto menyampaikan, situasi demokrasi di Indonesia terus bergeliat, yang ditandai fenomena banyaknya partai politik baru muncul. "Sebetulnya turut memperkaya khasanan demokrasi di Indonesia dengan segala peristiwa politik terjadi," ucap Hery di Jakarta, kemarin.
Sedangkan Komaruddin Hidayat mengatakan, demokrasi di Indonesia seperti permainan arisan. Alasan Komaruddin, sebab proses demokrasi di Indonesia mensintesiskan dengan agama, negara, pluralisme, diramu menjadi kesatuan.
"Indonesia ini bukan negara-bangsa, tapi negara masyarakat yang diikat oleh Pancasila serta cita-cita pendiri bangsa. Namun demokrasi Indonesia itu masih jauh dari yang dicita-citakan pendiri bangsa," ucap Komaruddin.
Sementara Anis Matta menuturkan, bagaimana pertumbuhan platform informasi yang amat pesat dan tidak terbatas sehingga ikut mempengaruhi demokrasi Indonesia. Menurut dia, bertambahnya tata nilai di masyarakat Indonesia akibat arus perubahan sosial yang lebih cepat dari reformasi politik.
"Dulu, dari penelitian saya, hanya ada dua yaitu agama dan keluarga. Sekarang tambah prestasi karena adanya kebebasan, pendidikan, individual yang mengimbangi semangat komunal," ujar Anis
Fahri Hamzah menambahkan, demokrasi Indonesia diawali dari terciptanya moderasi partai politik. Sayangnya, partai politik yang lebih dulu ada tak menyadarinya. "Akhirnya partai politik berhenti sebagai institusi berpikir dan hanya berorientasi pada lembaga kekuasaan saja. Partai politik hanya jadi mesin latihan saja untuk kekuasaan," ucap Fahri.
Pembicara lainnya, Imron Cotan, mengatakan, kondisi darurat negara di dunia akibat krisis ekonomi dan pandemi menyebabkan mulai munculnya pemimpin alternatif. "Pemimpin alternatif tersebut, ujar Imron, biasanya justru disukai masyarakat karena dianggap mampu sebagai penyelamat dari krisis," beber Imron Cotan.
Adapun Ferry Kurnia menjabarkan, bila merujuk pada indeks demokrasi, Indonesia masih belum memberikan harapan baik sebab hanya memiliki skor 65. Realita tersebut, bagi Ferry, di satu sisi membuat demokrasi Indonesia telah terlaksana, namun juga mash muncul kontraproduktif.
Webinar tersebut dimoderatori Nurfajri Budi Nugroho selaku wakil Ketua Umum Majelis Sinergi Kalam (Masika) Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) yang memantik diskusi dengan apik. Alhasil, diskusi mengalir dan para narasumber bertukar pikiran secara empiris dan teoritis.