REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar pertanian Universitas Padjajaran, Ronnie Natawidjaja, menilai, rencana impor beras sebanyak 1 juta ton lewat Perum Bulog menunjukkan pemerintah kurang percaya diri terhadap upaya peningkatan produksi yang telah dilakukan.
"Sepertinya kurang percaya diri. Usaha nyata sudah dilakukan pemerintah, tapi kepercayaan pada keberhasilan (program) kelihatannya belum ada dan belum seimbang," kata Ronnie kepada Republika.co.id, Sabtu (6/3).
Ronnie mengatakan, program food estate yang digencarkan pemerintah alhasil dipandang belum bisa membuat perbedaan yang signifikan terhadap sektor perberasan nasional. "Karena (food estate) yang lalu, track record tidak terlalu bagus dalam hal itu," katanya menambahkan.
Di sisi lain, Ronnie menilai, situasi global yang penuh dengan ketidakpastian membuat pemerintah harus mengantisipasi berbagai kemungkinan terburuk. Oleh sebab itu, perlu ada langkah pengamanan terhadap penyediaan beras dalam negeri agar tidak terlambat jika terpaksa harus membuka keran impor.
"Kita tahu, walaupun produksi banyak tapi yang diperdagangkan secara internasional itu tipis. Jadi kalau kita tiba-tiba kita butuh tanpa perencanaan yang baik itu akan sulit," katanya.
Meski demikian, ia menilai impor beras tentu akan menambah beban bagi Bulog karena di sisi lain memiliki kewajiban untuk menyerap gabah dari petani. Karena itu, Bulog didorong untuk bisa membuat kontrak atau booking terlebih dahulu dalam mekanisme impor beras.
Sistem itu, kata Ronnie, biasa dalam perdagangan internasional sehingga realisasi impor bisa menyesuaikan dengan kebutuhan riil. "Akan menjadi masalah kalau kontraknya rigid. Jadi yang sudah ada dalam kontrak harus segera keluar dan dikirim ke Indonesia. Itu Bulog harus bisa jaga stok agar tidak bocor," katanya.