REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Sebelum Islam hadir, umat manusia masih diliputi kegamangan mengenai Tuhan dan kekuatan spiritual yang mereka ikuti. Maka tak heran kiranya manusia kala itu menyembah matahari, bulan, dan benda-benda langit lainnya sebagai dewa yang mereka percaya.
KH Musta’in Syafii dalam kajian Kitab Tafsir Jalalain, secara virtual, baru-baru ini, menjelaskan, jejak penyembahan manusia kepada matahari dan benda-benda langit lainnya mulai dihapus ketika Islam datang. Misalnya, dalam pengkalenderan, Islam memiliki nama-nama hari yang diambil dari makna bilangan.
“Hari Minggu dalam Islam itu namanya Ahad. Ini untuk menghapus tradisi jahiliyah yang mendewakan matahari. Maka orang barat itu menamai hari minggu dengan kata Sunday (Sun-Day), yaitu harinya dewa matahari. Hari senin dengan Monday, yakni harinya dewi rembulan,” kata KH Musta’in.
KH Musta’in menjelaskan bahwa munculnya jejak penyembahan terhadap matahari dan juga benda-benda langit lainnya tak lepas dari pengaruh kekuasaan Kerajaan Saba Ratu Bilqis. Di mana kerajaan tersebut merupakan kerajaan besar yang ratu dan juga rakyatnya menyembah matahari.
Kemudian, kata beliau, datanglah Nabi Sulaiman untuk mengabarkan informasi kepada mereka mengenai akidah yang baik. Yakni akidah tentang tidak menyembah benda-benda langit dan fokuskan diri menyembah kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Beliau menjabarkan bahwa Alquran pun mengabadikan kisah mengenai sejarah manusia yang menuhankan matahari dan benda langit ini sebagai dewa. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah Fushilat ayat 37.
Allah berfirman: “Wa min aayatihi al-lailu wa an-nahaaru wa as-syamsu wal-qamaru. Laa tasjuduu lisyamsi wa laa lil-qamari wasjuduu lillahi alladzi khalaqahunna in kuntum iyyahu ta’budun,”. Yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah adanya malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang Menciptakannya. Dialah yan kamu hendak sembah,”.