REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, risiko ketidakpastian ekonomi yang tinggi selama masa Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama lambatnya penurunan suku bunga kredit perbankan. Sehingga cara untuk menggairahkan ekonomi adalah penanganan pandemi yang lebih baik.
Ekonom Indef Eko Listiyanto mengatakan, walaupun bunga acuan BI (BI 7DRR) diturunkan 125 bps sepanjang 2020 tetapi bunga kredit hanya turun 83 bps. Secara umum, Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) perbankan turun secara bertahap per masing-masing segmen baik korporasi, ritel, dan KPR.
SBDK korporasi Januari 2021 sebesar 9,08 persen turun dari 10,30 persen pada Januari 2019. SBDK ritel Januari 2021 sebesar 9,94 persen turun dari 11,05 persen pada Januari 2019. SBDK KPR Januari 2021 sebesar 9,80 persen turun dari posisi 10,91 persen pada Januari 2019.
Eko mengatakan, relatif tingginya biaya dana dan operasional di Bank BUMN menjadi salah satu penyebab lainnya bank enggan buru-buru merespons kebijakan penurunan suku bunga BI. Dari sisi efisiensi, rata-rata bank di Indonesia memiliki BOPO 86,58 persen per Desember 2020.
"Ini menggambarkan besarnya biaya operasional bank di tengah sempitnya ruang pendapatan operasional saat pandemi, kondisi ini memang membuat bank tidak cepat merespon penurunan suku bunga Acuan BI," kata Eko dalam keterangan, Ahad (7/3).
Kemudian, meskipun bank telah menurunkan bunga kreditnya, Eko menyebut hal ini tidak akan langsung menggairahkan kinerja sektor riil. Karena kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi. Sektor swasta tetap akan berhati-hati dalam ekspansi termasuk dalam mendapat pendanaan bersumber utang perbankan.
Masyarakat akan lebih hati-hati lagi karena ada kewajiban cicilan. Maka dari itu, Eko menilai pentingnya kebijakan fiskal "jalan duluan" untuk mengatasi pandemi dan mendorong daya beli, baru kemudian sektor perbankan akan mengikuti arus seiring optimisme yang mulai pulih. "Stimulus kebijakan fiskal salah satunya stimulus penanganan krisis kesehatan," jelasnya.
Chief Economist BRI Anton Hendranata menuturkan, penurunan suku bunga kredit tidak akan cukup mendongkrak pertumbuhan kredit untuk menopang pemulihan ekonomi. Akselerasi pertumbuhan kredit dapat dilakukan dengan mendorong kenaikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan daya beli secara signifikan.
Kunci utama mendorong kenaikan kredit adalah mendongkrak kembali permintaan masyarakat dan daya beli masyarakat, serta pengendalian pandemi Covid-19. Maka dari itu, stimulus ekonomi melalui dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 masih sangat dibutuhkan.
"Bantuan sosial, bantuan langsung tunai, dan program padat karya adalah jalan terbaik, cepat, dan relatif mudah implementasinya di lapangan," katanya.
Hal ini dinilai cukup efektif mendorong kembali belanja masyarakat level bawah karena kecenderungan konsumsinya cukup tinggi. Masyarakat level bawah dan rentan miskin jika mendapatkan uang akan langsung dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Lebih lanjut, pengalaman 2020 menjadi pelajaran berharga agar realisasi dana PEN 2021 lebih baik dibandingkan 2020. PEN 2021 harus bisa mengakselerasi permintaan yang relatif lemah di 2020. Realokasi anggaran ke sektor yang terbukti ampuh mendorong permintaan domestik menjadi hal yang tidak bisa ditawar lagi.
Menurut data OJK, perbankan telah menurunkan suku bunga kredit produktif yang sudah terus turun sejak tahun 2016 menjadi di bawah 10 persen. Suku bunga kredit modal kerja turun mulai Mei 2016 dari 11,74 persen menjadi 9,27 persen di Januari 2021. Suku bunga kredit investasi posisi Mei 2016 di 11,42 persen turun menjadi 8,83 persen di Januari 2021. Sementara, suku bunga kredit konsumsi sudah turun dari Mei 2016 di posisi 13,74 persen menjadi 10,95 persen di Januari 2021.