REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Adi Prayitno mengatakan, keabsahan pengurus partai politik (parpol) sebaiknya bukan berada di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Ia mengkhawatirkan keputusan Kemenkumham bias dengan kepentingan politik.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu mengatakan, lingkungan eksekutif, termasuk menkumham, biasanya diisi oleh orang-orang dari partai tertentu. "Makanya, akan baik jika ke depannya, keabsahan partai politik tidak diberikan kepada Kemenkumham,’’ ujar dia dia kepada Republika, Ahad (7/3).
Adi juga khawatir jika SK Kemenkumham dijadikan tolak ukur keabsahan pengurus parpol maka banyak pengambilalihan kekuasan pada partai politik melalui jalur KLB, Munaslub atau lainnya. ‘’Karena rumusnya sederhana, bikin KLB hingga akhirnya rebutan SK Menkumham. Selesai kan,’’ kata dia.
Ia menyarankan keabsahan pengurus partai politik sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang bekerja dengan kolektif dan independen seperti KPU. "KPU itu kolektif dan bersifat independen, kerjanya juga bisa diaudit oleh dewan kehormatan DKPP,’’ kata dia.
Soal nasib Partai Demokrat, dia mengatakan, kepengurusan Partai Demokrat masih menunggu Kemenkumham. Jika keputusan Kemenkumham menguntungkan hasil KLB Deli Serdang maka AHY dapat menempuh jalur perlawanan melalui PTUN.
Sementara itu, ia mengatakan, masa depan partai berlogo mercy itu akan tergantung dari proses pemulihannya nanti. Berdasarkan sejarah dualisme kepemimpinan partai politik di Indonesia, gesekan antara dua pendukung ataupihak berseberangan akan tersebut terjadi.
Konflik dualisme partai di Indonesia telah terjadi sejak Orde Baru. Saat itu, menurutnya, ada dualisme kepemimpinan PDIP Megawati vs Suryadi.
‘’Itu sejarah pertama. Tapi, konfliknya antarkader di dalam partai semata,’’ tambahnya.
Pada dualisme di tubuh PKB antara Muhaimin Iskandar dan Yenny Wahid, ia mengatakan, konflik internal berlangsung bertahun-tahun. Pada konflik Partai Golkar, ia mengatakan, Jusuf Kalla selaku senior partai turut menengahi.