REPUBLIKA.CO.ID, PNOM PHEN -- Nelayan Kamboja Tin Yusos, menyantap makanan hasil tangkapan hari sebelumnya bersama istri dan cucunya di atas kapal yang berfungsi ganda sebagai rumah mereka yang ditambatkan di tepi Sungai Tonle Sap. Mereka berencana untuk berangkat memancing satu hari kemudian di kawasan Sungai Tonle Sap dan Sungai Mekong, meski ekspektasinya rendah.
"Tidak ada ikan besar lagi," kata Tin Yusos, yang berusia 57 tahun.
Yusos dulu bisa mendapatkan sekitar 30 kilogram ikan per hari. Sekarang dia seringkali hanya menangkap lebih dari satu kilogram ikan, atau senilai sekitar 15.000 riel (sekitar Rp 53.000). Para ahli menyalahkan proyek pembangkit listrik tenaga air, penambangan pasir, penggundulan hutan, konversi lahan basah, dan perubahan iklim sebagai penyebab penurunan dramatis permukaan air di sungai-sungai di kawasan itu, yang sangat mengganggu kegiatan penangkapan ikan dan mengancam pasokan makanan bagi jutaan orang.
Sungai Mekong biasanya melimpah dengan air pada musim hujan di mana sungai itu akan menyatu dengan Sungai Tonle Sap, yang menyebabkan aliran balik tidak biasa ke Danau Tonle Sap, sehingga mengisinya dan menyediakan stok ikan yang melimpah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, aliran ke danau terbesar di Asia Tenggara itu terkadang tertunda yang faktor penyebabnya adalah kekeringan dan bendungan pembangkit listrik tenaga air di hulu Sungai Mekong.
Kemungkinan bahwa 11 bendungan China telah merusak akses air negara-negara hilir yang bergantung pada sungai sepanjang 4.350 kilometer itu telah menjadi masalah geopolitik, dengan Amerika Serikat mendesak negara-negara Mekong Bawah, seperti Thailand, Vietnam dan Kamboja, untuk menuntut jawaban.
Seorang ahli saluran air di kawasan itu dari World Wide Fund for Nature (WWF), Marc Goichot, mengatakan bendungan dan penambangan pasir khususnya dapat berkontribusi pada hilangnya stok ikan. "Pada dasarnya seluruh sistem berada di bawah tekanan dan perubahan. Kami perlu mengatasi akar penyebab dari perubahan tersebut dan membangun kembali proses utama, seperti pergerakan ikan," katanya.
Seorang nelayan Kamboja lainnya, Ly Safi (32 tahun), mengatakan bahwa tangkapan ikan tahun ini adalah yang terburuk dan dia merasa terjebak dalam mata pencaharian dengan masa depan yang tidak pasti. "Beberapa nelayan bisa menghemat uang dan pergi untuk berbisnis di darat, tetapi bagi kami, kami tidak bisa," ujar Ly Safi.