REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Eksekutif Komisi Pendidikan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), TB Gandhi Hartono SJ, menilai Peta Jalan Pendidikan Nasional (Diknas) 2020-2035 tidak mengabaikan pentingnya agama, meskipun telah kehilangan frasa 'agama'.
"Pendapat pribadi saya dan beberapa pengurus MNPK, frase agama memang tidak tertulis secara eksplisit dalam peta jalan pendidikan nasional, artinya tidak ada kata agama di dalamnya. Tidak adanya kata agama di dalam peta jalan pendidikan nasional sama sekali tidak berarti mengabaikan pentingnya agama dalam pendidikan nasional sebagaimana amanat konstitusi kita dan UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional)," kata Gandhi pada Senin (8/3).
Dia mengungkapkan, Peta Jalan Diknas ini menekankan sumber daya manusia Indonesia yang unggul berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan munculnya nilai-nilai Pancasila, pendidikan itu harus utuh dan menyeluruh dengan kurikulumnya, termasuk di dalamnya termuat dasar mata pelajaran agama dan budi pekerti di sekolah.
"Sejauh pemahaman saya bahwa PJ PN ini sudah sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, baik Pasal 3 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 dan prinsip-prinsip pendidikan nasional Pasal 4 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Bahkan, secara tajam merumuskan profil pelajar Pancasila. Maka, sebenarnya sudah termuat di dalamnya pendidikan agama," ucap Gandhi.
Di samping itu, Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LP Ma'arif NU) disebut telah memberikan masukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terkait dengan Peta Jalan Diknas 2020-2035. Hal ini disampaikan oleh Ketua LP Ma'arif NU, Arifin Djunaidi.
"LP Ma'arif NU telah memberikan masukan untuk peta jalan pendidikan langsung kepada Mendikbud yang didampingi seluruh eselon I pada tanggal 25 Januari," kata Arifin.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengkritik Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035 yang diluncurkan melalui Kemendikbud. Dia mengatakan, Peta Jalan Pendidikan Nasional tidak sejalan dengan Pasal 31 UUD 1945.
Dia menemukan hilangnya frasa 'agama' merupakan bentuk melawan konstitusi (inkonstitusional). Menurut hierarki hukum, produk turunan kebijakan seperti peta jalan tidak boleh menyelisihi peraturan di atasnya, yakni peraturan pemerintah, Undang-Undang Sisdiknas, UUD 1945, dan Pancasila.