REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakaf merupakan salah satu cara bagi seorang Muslim untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT secara terus-menerus dan tidak akan putus meski orang yang berwakaf (wakif) telah meninggal dunia. Lantas bagaimana orang yang berwakaf itu non-Muslim? Apakah tetap sah dan Muslim boleh menerimanya?
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU), KH Mahbub Ma'afi Ramdlan, menjelaskan pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara para fuqaha terkait kebolehan dan keabsahan wakaf non-Muslim kepada Muslim. Namun, dengan catatan, sesuatu yang diwakafkan itu memang layak untuk dimiliki Muslim.
"Misalnya, kalau ada wakaf dari perusahaan minuman keras itu jelas tidak boleh, karena itu dilarang bagi Muslim. Jadi, sepanjang orang Muslim itu bisa memilikinya, maka wakaf itu sah. Mengapa? Karena para ulama sepakat, bahwa Islam itu bukan merupakan syarat bagi sahnya wakaf," tuturnya kepada Republika.co.id, Senin (8/3).
Dia menjelaskan, wakaf berorientasi pada manfaat dari harta-benda yang diwakafkan. Pemanfaatan itu terfokus hanya pada kebaikan semata untuk mendekatkan diri kepada Allah. "Konsekuensinya, dzat harta benda wakaf itu sendiri tidak bisa ditasharrufkan karena dalam wakaf yang ditasharrufkan adalah manfaatnya sehingga harta-bendanya masih tetap utuh," terangnya.
Dia melanjutkan, definisi wakaf menurut syariat adalah menahan harta-benda yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya beserta kekalnya dzat harta-benda itu sendiri, dan dilarang untuk mentasharrufkan dzatnya.
Sedangkan mentasharrufkan kemanfaatannya yakni dalam hal kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan Taqiyyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishni dalam kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar.