REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- “Tentang kemunduran sains dunia Muslim, jangan salahkan Al-Ghazali,” begitu kata Hassan Hassan, seorang kolumnis di The National Abu Dhabi Uni Emirat Arab, dalam tulisannya yang dipublikasikan laman Qantara.
Banyak yang telah dikatakan tentang zaman keemasan sains Arab (antara 800-1100 Masehi), ketika dunia Muslim menjadi mercusuar inovasi dan memicu periode renaisans dan pencerahan Eropa. Namun saat ini kontribusi dunia Muslim kontemporer untuk sains berada dalam kondisi yang suram.
India dan Spanyol masing-masing menghasilkan lebih banyak literatur ilmiah daripada gabungan semua negara Muslim. Kontribusi 57 negara terhadap sains secara global tidak lebih dari 1 persen dan umumnya berkualitas lebih rendah. Pertanyaannya, apa yang salah saat ini?
Sebagian akademisi telah lama menyatakan bahwa teolog Islam besar, Abu Hamid al-Ghazali yang hidup dari 1055 hingga 1111 Masehi, sendirian menjauhkan budaya Islam dari penyelidikan ilmiah independen menuju fundamentalisme agama.
Dalam pergeseran intelektual yang luar biasa, dia menyimpulkan bahwa falsafa (yang secara harfiah berarti filsafat tetapi termasuk logika, matematika, dan fisika) tidak sesuai dengan Islam.
Setelah menulis bukunya The Incoherence of Philosophers (Tahafut al-Falasifah), Algazel begitu dia dikenal di Abad Pertengahan Eropa, dikatakan telah menusuk falsafa sedemikian rupa sehingga tidak dapat bangkit kembali di dunia Muslim. Berkat penguasaan falsafah dan teologi Islam yang tidak tertandingi, dia dituding menyuntikkan kebencian di antara umat Islam untuk sains yang pada akhirnya menyebabkan kemunduran dan dalam prosesnya, kemunduran peradaban Islam.
Inilah yang diperdebatkan para akademisi dan orientalis selama lebih dari satu abad. Tapi saya yakin penilaian ini salah informasi.
Cherchez Nizam Al-Mulk
Para akademisi benar dalam menunjukkan periode yang tepat di mana Muslim mulai berpaling dari inovasi ilmiah, yakni abad ke-11. Tetapi mereka telah mengidentifikasi orang yang salah.
Abu Ali al-Hassan al-Tusi (1018-1092), lebih dikenal sebagai Nizam al-Mulk, wazir agung Dinasti Seljuk, sebenarnya adalah kekuatan pendorong.
Nizam al-Mulk telah menciptakan sistem pendidikan yang dikenal sebagai 'Nizamiyah' yang berfokus pada studi agama dengan mengorbankan penelitian independen. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, studi agama dilembagakan dan studi agama dipandang sebagai jalur karier yang lebih menguntungkan. Sebelumnya, ilmu pengetahuan dan hukum Islam saling terkait.
Perguruan tinggi Nizamiyah tidak hanya fokus pada agama tetapi mereka juga mengadopsi interpretasi Sunni yang sempit terhadap yurisprudensi Islam sebagai sumber kurikulum Mazhab Syafi'i.