REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu peristiwa Nabi Muhammad yang dirayakan setiap bulan Rajab adalah Isra Mi'raj. Isra Mi'raj adalah perjalanan yang ditempuh dalam waktu semalam.
Mulai dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina lalu menuju Sidratul Muntaha. Lalu, bagaimana kacamata sains memandang peristiwa tersebut?
Pendiri Rumah Fiqih Indonesia Ustadz Ahmad Sarwat mengatakan tidak cocok jika perjalanan Isra Mi'raj dikaitkan dengan sains. “Dari segi sains ya, jangankan sains di masa sekarang. Di masa akan datang saja belum bisa digambarkan apalagi jika dikaitkan dengan sains zaman Rasulullah. Tidak terbayangkan,” kata Ustadz Ahmad kepada Republika.co.id, Rabu (10/3).
Kemungkinan jika dikaitkan dengan sains di masa sekarang, bepergian dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa mamakan waktu sekitar dua jam menggunakan pesawat, bolak-balik menjadi empat jam. Itu masih masuk akal jika perjalanan tersebut ditempuh dalam satu malam.
Namun, sains tidak bisa menjawab perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju Sidratul Muntaha. Sampai saat ini pun, pesawat yang memiliki kecepatan cahaya belum ditemukan, baru dengan istilah kecepatan cahaya.
“Kecepatan cahaya itu sebenarnya belum pernah ada wujudnya. Tapi ini sering ada dalam cerita novel atau film fiksi ilmiah. Contohnya, pesawat Enterprise dalam film Star Trek yang kecepatannya sudah seperti kecepatan cahaya,” ujar dia.
Namun, jika melihat teori kecepatan cahaya dengan kecepatan 300 ribu kilometer per detik misalnya, dalam satu malam perjalanan dengan wahana luar angkasa selama 12 jam bolak-balik belum apa-apa. Terlebih, itu belum keluar dari galaksi Bima Sakti.