REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menetapkan target pelacakan (tracing) kontak erat pasien terkonfirmasi Covid-19 sekitar 80 persen dari seluruh kasus yang dilacak. Namun, target belum bisa dicapai dan kemampuan pelacakan Indonesia baru 77,8 persen hingga akhir Februari 2021.
"Pencapaian indikator tracing per November 2020 hingga Februari 2021 yaitu 77,8 persen daan rasio kontak erat masih sedikit yaitu 3,5 artinya satu pelacak bisa melacak maksimal 3,5 orang, padahal targetnya 10 hingga 30 orang, bahkan organisasi dunia PBB (WHO) mengatakan semua kontak erat dicari tahu. Jadi, tracing ini memang masih sedikit," ujar Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Covid-19 Dewi Nur Aisyah saat mengisi konferensi virtual BNPB bertema 'Covid-19 dalam Angka: Pembelajaran Berharga Covid-19', Rabu (10/3).
Dewi mengakui, memang sejak awal pandemi terjadi di Indonesia, pihaknya agak lemah dalam tracing. Menurutnya, masalah ini bukan hal yang mudah. Sebab, jumlah pelacak (tracer) di seluruh wilayah Indonesia sangat terbatas. Tak heran, banyaknya kasus yang harus dilacak dengan pelacak yang terbatas membuat kemampuan pelacakan tak maksimal.
Dewi juga mengaku mengalami kendala bahwa calon pelacak sebelum terjun ke lapangan juga harus mendapatkan pelatihan karena akan bertemu dengan orang. Calon pelacak harus mengetahui alat pelindung diri (APD) yang digunakan harus seperti apa, apa yang harus digali oleh seorang pelacak, kemudian syarat-syarat lainnya. Kemudian, dia melanjutkan, pelacak ini harus melakukan pemantauan kontak erat setiap hari.
"Itulah kenapa tracer tidak mudah tak hanya mencari melainkan juga masih dipantau setiap hari," ujarnya.