REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo ( Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Dalam aturan baru itu, Pemerintah mengizinkan penanaman modal dari perusahaan besar untuk masuk ke bisnis-bisnis yang sebelumnya diperuntukan hanya untuk UMKM. Salah satunya yakni usaha kerupuk, keripik, peyek, emping, kecimpring, karak, gendar, opak, keripik paru dan sejenisnya.
Terkait hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nasim Khan menilai sejatinya investasi harus berpihak terhadap kepentingan ekonomi, sosial dan manfaat masyarakat. "Investasi seharusnya mempertimbangkan manfaat yang bisa diambil seperti penyerapan tenaga kerja, tumbuhnya ekonomi sektoral, daerah maupun pertumbuhan ekonomi nasional, pusat-pusat pertumbuhan baru. Investasi tak boleh mengganggu daya saing UMKM dan lainnya, manfaat yang selama ini dinikmati UMKM seharusnya bisa diteruskan," kata Nasim Khan berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Rabu (10/3).
Aturan pelonggaran dan atau pemberian izin investasi, tegas Nasim, semestinya dipikirkan dengan cermat dan matang. Hal itu agar investasi tidak mengganggu bisnis perdagangan UMKM lokal atau tradisional yang sudah ada.
"Investasi industri keripik ini paling akan menciptakan berapa lapangan pekerjaan? para pekerja akan menerima gaji berapa?, coba bandingkan kalau investasinya disektor bisnis mobil listrik? bahan baku baja, karet kita miliki, listrik juga berlimpah, tenaga kerja yang tercipta pasti banyak. apalagi jika ada kebijakan mobil listrik dengan target hingga 2050 harus listrik, pasti mobil akan diproduksi massal, belum lagi ekspor? Pasti akan memberikan dampak yang sangat nyata,” katanya.
Nasim menegaskan, Dibukanya keran industri besar untuk bermain pada industri kerupuk, keripik, rempeyek dan sejenisnya tentu akan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan hanya mendatangkan keuntungan yang kecil. Untuk itu, dia meminta Pemerintah mengkaji ulang aturan tersebut dan mencabutnya. Pasalnya, investasi tersebut dikhawatirkan malah akan menggerus dan mematikan ekonomi Pelaku UMKM disektor usaha kerupuk, keripik, rempeyek dan sejenisnya yang sudah ada sebelumnya.
“Dampak negatif yang ditimbulkan ini sangat berbahaya. Karena dapat mematikan industri UMKM, karena mereka tak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar, Akhirnya, nanti banyak pengusaha UMKM yang bisa gulung tikar. Kalau usahanya bangkrut, tentu ini akan menimbulkan persoalan baru, angka pengangguran akan semakin meningkat. Padahal sektor UMKM ini sudah sangat banyak membantu menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka pengangguran,” ujar Nasim.
Kendala Pelaku UMKM
Nasim membeberkan sejumlah kendala yang dihadapi para pelaku UMKM. Diantaranya seperti masih belum banyaknya UMKM yang naik kelas, kesulitan akses pemasaran, permodalan, efisiensi biaya pengiriman, sulitnya memperoleh bahan baku dan kalah saing dengan produsen besar.
“Kadang-kadang, untuk masuk ke ritel atau supermarket besar, UMKM itu sudah diperlakukan layaknya industri besar dengan biaya yang tinggi, selain itu, dari pengalaman teman-teman UMKM yang bekerjasama dengan mini market itu draft kontrak perjanjiannya juga sangat memberatkan, pembayarannya bisa 3 bulan setelah penjualan. Nah, mereka ini pelaku UMKM yang hanya memiliki modal kecil pastinya sangat dirugikan, sehingga kebanyakan menghentikan penitipan penjualan,”kata dia.
Untuk diketahui, Pada Pasal 6 Perpres itu diatur ketentuan bahwa dalam bidang usaha persyaratan tertentu, investasi dapat dilakukan oleh semua investor yang memenuhi persyaratan penanaman modal untuk PMDN tak hanya koperasi dan UMKM.
Kemudian, Dalam lampiran III Perpres tersebut, tertuang bahwa bidang usaha industri kerupuk, keripik, peyek dan sejenisnya masuk daftar bidang usaha persyaratan tertentu, dengan syarat penanaman modal dalam negeri (PMDN) 100 persen. (Nomor 43, kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Nomor 10794 dengan syarat modal dalam negeri 100 persen).