REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beleid dibukanya usaha pengangkatan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT) oleh investor asing disorot Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI). Menurut anggota senior IAAI, Surya Helmi, dari rekam jejak kerjasama dengan investor asing sebelumnya, pemerintah justru tidak mendapat hasil yang memuaskan dibanding proyeksi hasil lelang atau jumlah muatan kapal karam tersebut.
Hal ini dibahas dalam webinar 'Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021', Rabu (10/3). Berbicara dalam webinar tersebut para ahli arkeologi dari Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, sejumlah anggota tim ahli cagar budaya, pengajar hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta Prof Endang Sumiarni, dan Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKT), Harry Satrio.
Soal harta karun kapal karam mencuat menyusul beleid UU Cipta Kerja dan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021. Di dalam aturan tersebut mengatur soal izin investasi barang muatan kapal tenggelam (BMKT). Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan asing boleh masuk dan berinvestasi dalam mencari harta karun dari muatan kapal karam zaman dahulu di Indonesia. Sebelumnya izin ini ditutup untuk investor asing.
Namun, ahli arkeologi menilai pembukaan investasi asing untuk mengangkut BMKT tidak sesuai dengan aturan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ahli arkeologi bersikeras, benda cagar budaya bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan, terkait dengan kegiatan mencari 'harta karun' kapal tenggelam, lalu melelangnya di dalam negeri atau dibawa ke luar negeri.
Dalam pemaparan Helmi, pihak asing terlihat lebih sigap dan siap soal temuan harta kapal karam di perairan Indonesia ini. Ia mencatat ada setidaknya empat contoh pengangkatan harta kapal karam yang melibatkan pihak asing yang tidak menguntungkan pemerintah Indonesia. Dari perhitungan Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT, bisa mendatangkan devisa hingga Rp 170 triliun. Namun Helmi menilai ini tidak pernah terjadi.
"Dari puluhan pengangkatan kapal karam yang pernah dilakukan hanya beberapa saja yang dinilai berhasil, selebihnya menghasilkan puluhan ribu keramik yang tidak laku dijual," kata Helmi, Rabu. Helmi adalah mantan direktur Direktorat Peninggalan Bawah Air Kemendikbud yang mengurusi penelitian dan pencatatan cagar budaya bawah laut. "Sejak 1985 sampai sekarang negara tidak dapat apa-apa."
Yang paling terkenal, Helmi membuka kisahnya, adalah cerita pemburu harta karun Michael Hatcher di Kepulauan Riau. Hatcher mengincar keramik dan ratusan batang logam mulia dari kapal milik VOC De Geldermalsen yang karam pada 1751. Izin resmi mengangkut temuan harta dari dalam kapal tersebut, kata Helmi, tidak pernah keluar. "Ini ilegal!". Tapi toh Hatcher berhasil lolos dan malah melelang hasil temuannya di balai lelang di Amsterdam. Ia meraup 17 juta dolar AS pada waktu itu. "Negara tidak dapat apa-apa," kata Helmi. Malah peristiwa ini menewaskan salah satu arkeolog bawah laut pertama Indonesia, Santoso Pribadi, yang hilang.
Kisah kedua adalah pengangkatan BMKT dari situs perairan Batu Hitam Kepulauan Belitung. Di situs ini ditemukan muatan dari kapal karam Dinasti Tang, Cina. Pengangkatannya pada akhir dekade 1990an. Temuan hartanya malah sudah dilelang dan menjadi milik Singapura senilai 32 juta dolar AS. "Bagian untuk pemerintah Indonesia tidak begitu signifikan," lanjut Helmi.
Pada 1999, masih oleh pemburu harta karun Michael Hatcher, ia menemukan titik kapal karam Tek Sing, kapal milik Cina yang hendak berlayar ke Batavia namun tenggelam di Kepulauan Bangka. Dari bangkai kapal itu, Hatcher menemukan ribuan keramik berharga yang menjadi salah satu temuan terbesar keramik kapal karam. Temuan kemudian dibawa ke Singapura dan Australia. "Uang yang masuk ke negara Rp 4,2 miliar, dibanding dari hasil lelang yang dilakukan perusahaan pengangkut itu," kata Helmi menjelaskan.
Lainnya adalah temuan yang disebut sebagai 'Cirebon Cargo'. Ini sebuah kapal karam di perairan utara Cirebon, Jawa Barat, yang berisi ratusan ribu keramik Cina dari zaman Dinasti Tang. Temuan situsnya pada 2003-2004. Lalu kemudian dilakukan pengangkatan BMKT pada 2005-2007. Terangkat sekitar 500 ribu keping keramik. Dicoba dilelang di Indonesia, kata Helmi, tapi berkali kali gagal.
Akhirnya disepakati bahwa temuan BMKT itu dibagi dua, tanpa harus dilelang, sebagian menjadi milik investor, sebagian milik pemerintah. Masalah tidak berhenti di situ, karena realitasnya kata Helmi, ratusan ribu keramik itu malah didiamkan oleh pemerintah. Masuk ke dalam gudang di Cileungsi.
Arkeolog maritim asal Jerman yang bermukim di Makassar, Horst Liebner, menambahkan hasil Cirebon Cargo itu milik investor ada yang dijual ke Museum Nasional Qatar. Namun oleh pemerintah Qatar malah tidak tahu mau diapakan hasil pembelian artefak itu. Begitu juga pemerintah Indonesia. "Belum ada terbitan riset ataupun lainnya dari Indonesia," kata dia. Bahkan ia mendengar isu, ada temuan keramik yang paling berharga dinamakan Yue Ware, karena berukiran halus dan indah berwarna hijau, sudah tidak ada lagi di gudang penyimpanan.
Helmi mengakui belum ada kesepakatan pemanfaatan temuan kapal karam ini di Indonesia oleh sejumlah instansi. Ia mengakui, pemerintah agak berat terkait pengangkatan temuan harta kapal karam ini. Kendalanya membutuhkan dana besar, dana riset yang juga besar, serta sumber daya manusia yang prima. "Ini bidang hight tech, high cost, dan high risk," katanya.