REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan traveller.
Celah itu hanya bisa dilewati satu orang dewasa secara bergantian. Semacam pintu kecil, namun tanpa daun pintu. Di depannya ada anak tangga ke bawah.
Ruangan di bawah terlihat seperti “gua” yang cukup lebar. Bisa memuat 30-40 jamaah shalat. Berkarpet merah dengan dinding batu yang masih asli.
Di sudut ruangan ada semacam “bale-bale” yang terbuat dari batu yang sudah dirapikan dan dilapis permukaannya, sehingga bisa digunakan untuk duduk. Ada dua pilar kecil yang menyangganya.
Ruangan itu sejatinya adalah bagian bawah batu yang melengkung hingga membentuk cerukan yang bisa dimasuki orang.
Batu di atasnya itulah yang digunakan sebagai pijakan Rasulullah SAW saat mi’raj ke Sidaratul Muntaha untuk menerima perintah shalat.
Ada beberapa informasi yang menyesatkan yang beredar di internet bahwa batu itu melayang, konon batu itu ingin ikut Rasulullah SAW tapi tidak diperbolehkan. Itu semua tidak benar.
Hati saya berdebar keras saat menuruni anak tangga satu per satu. Makin ke bawah makin keras debarannya.
Begitu menginjak karpet merah di ujung tangga, saya pejamkan mata. Sudut mata saya menghangat. Saya hidu udara yang lembab sambil menderaskan shalawat.
Saya didera keharuan sangat. Dari tempat inilah Manusia Mulia itu mi’raj menemui RabbNya untuk menerima perintah yang paling mulia: perintah shalat.
Saat shalat dua rekaat, saya benamkan sujud dalam-dalam. Tak terasa air mata terus meleleh. Dada sampai terasa sesak karena menahan suara tangis. Seperti tak percaya rasanya, Allah izinkan saya berada di tempat yang sudah saya rindukan sejak sangat lama.
Perintah mulia itu dijemput dari tempat ini. Saya tak bisa membayangkan bagaimana hidup manusia tanpa perintah shalat.
Ibarat perjalanan yang sangat panjang, tanpa pernah berhenti di persinggahan. Pastilah sangat melelahkan.
Tempat suci ini menjadi saksi peristiwa yang datang silih berganti. Seketika saya tergugu mana kala berkelebat bayangan saat tempat ini jatuh ke tangan pasukan salib.
Tak peduli tempat suci atau bukan, tentara salib membantai semua penduduk Muslim yang ditemuinya.
Pembantaian itu menyebabkan tumpahnya ribuan darah para syuhada. Sejarawan Barat pun mengakui terjadinya peristiwa itu. Seperti ditulis Karen Arsmtrong dalam bukunya Perang Suci: Dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, “Darah menggenang sampai lutut”.
Saya bergidik membayangkan, akankah kejadian serupa kembali terulang manakala yahudi-yahudi bersenjata yang tadi saya temui menyerbu ke tempat ini?
Baitul Maqdis adalah milik kita. Hak kita. Tanggung jawab kita semua untuk menjaganya. Karena kelak kita akan ditanya, “Ada di mana kalian saat Baitul Maqdis ternista? Ada di mana kalian saat saudara-saudaramu teraniaya?”
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS Al Isra:1]
Jakarta, 10/3/2021