REPUBLIKA.CO.ID, SALATIGA—Proses untuk mewujudkan kota Salatiga sebagai kota ter-toleran se-Indonesia bukan dibangun dalam waktu yang pendek (instan). Proses tersebut dibangun melalui komitmen pemerintah daerah serta dukungan penuh seluruh komponen masyarakat kota Salatiga.
Pemerintah dareah, melalui kebijakan, regulasi, statemen juga tindakan dalam mengelola gejolak di masyarakat. Di lain pihak, masyarakat juga sangat berpengaruh melalui kesadaran serta pemahaman atas regulasi maupun kebijakan yang diambil pemerintah daerah.
Hal ini terungkap dalam Talksahow Interaktif Menuju Salatiga Kota Toleran, yang digelar Dinas Kominfo Kota Salatiga di studio Radio Suara Salatiga FM, di Kota Salatiga, Rabu (10/03) kemarin.
Dalam kesempatan ini, Wali Kota Salatiga, Yuliyanto mengungkapkan, dari proses yang panjang tersebut baru tercapai pada tujuh tahun terakhir. Dalam penilaian sebagai kota ter-toleran oleh Setara Institute, kota Salatiga telah empat kali menduduki pemeringkatan dengan nilai tinggi.
Pertama tahun 2015 berada di peringkat kedua, tahun 2017 berada di peringkat ke-tiga, tahun 2018 kembali berada di peringkat ke-dua dan tahun 2020 berada di peringkat tertinggi atau nomor 1.
Pada tahun 2020, ada sejumlah indikator yang menjadi pertimbangan Setara Institute, seperti RPJMD 2017- 2022, kebijakan pemerintah yang tidak diskriminatif dan intoleransi, dinamika masyarakt sipil, tindakan pemerintah, tindakan nyata pemerintah hingga demografi keagamaan.
“Jadi predikat kota toleran itu tidak bisa diraih dengan tiba- tiba, misal dalam waktu satu tahun atau dua tahun saja, namun melalui waktu yang panjang dan juga penuh dinamika,” jelas wali kota.
Di kota Salatiga, lanjutnya, saat ini ada tak kurang 591 warga negara asing (WNA) yang tinggal di kampung bersama warga dan juga ada 32 etnis. Kalau tidak damai pasti orang asing tidak berani tinggal di kampung.
Selain itu, 16 ribu lebih mahasiswa berkuliah di UKSW dan 15 ribu lebih mahasiswa kuliah di IAIN Salatiga. Jika setiap mahasiswa menghabiskan uang satu juta per bulan maka Rp 30 miliar uang memutar roda ekonomi.
“Penjual mie ayam bakso dan warung- warung akan mendapatkan dampaknya, karena mereka leluasa mencari nafkah dan penghidupan dengan tenang, karena kehidupan di Kota Salatiga sangat harmonis,” tambah Yuliyanto.
Sementra itu, Kepala Biro Promosi Humas dan Alumni Universitas Kristen Satya Wacana (PHA- UKSW), Rini Kartika Hudiono SPd MA menjelaskan, kampus juga menempatkan diri untuk mendukung proses Salatiga Kota Tertoleran.
Sebagai contoh kebijakan yang dilakukan UKSW adalah tidak membedakan pemberian beasiswa terkait agama dan etnis, bahkan mahasiswa yang berasal dari Nangroe Aceh Darussalam juga mendapatkannya.
Menurutnya, mahasiswa tersebut memiilih UKSW sebagai tempat kuliah, karena referensi orang tuanya, ‘kalau mau belajar toleransi ya di Salatiga’.
“Itu sebelum Salatiga dinobatkan menjadi kota tertoleran. Kampus juga menumbuhkan benih perdamaian di dalam kampus dan menyebarkannya ke lingkungan bahkan juga di daerah sekitar kampus,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kominfo Kota Salatiga, Prasetiyo Ichtiarto mengusulkan kepada UKSW untuk menerbitkan buku terkait peran sekaligus hasil- hasil penelitian terkait toleransi di kota Salatiga.