REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Gus Aunullah A'la Habib Lc MA*
Salah satu pelajaran penting dari peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad SAW yang bisa kita ambil manfaat adalah tentang pentingnya sebuah sanad atau mata rantai keilmuan yang harus terus menerus tersambung.
Nabi Muhammad SAW dalam menjalani isra, selain menjalani proses ritual, juga menjalani proses pengasahan intelektualitas. Beliau berjumpa dan berdiskusi dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi-nabi yang lain, sehingga apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW itu jalannya sama dengan nabi-nabi pendahulunya.
Tradisi pertemuan secara langsung ini biasa kita kenal dengan dalam dunia pesantren dengan istilah tradisi sanad. Apabila sanad tidak bersambung, maka nanti akan terjadi penyimpangan yang bisa merusak. Oleh karena itu, setiap nabi harus punya jalur atau karakter yang sama dengan nabi-nabi yang lain dengan cara bertemu secara langsung.
Dalam pendidikan intelektual Nabi Muhammad SAW saat Isra, selain bertemu para nabi terdahulu, juga dikenalkan karakter-karakter nabi tersebut. Begitu juga dalam Alquran diceritakan kisah-kisah nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad SAW. Dengan menceritakan itu, akan menjadikan kebijakan dan pola pikir Nabi Muhammad selaras dengan yang dilakukan nabi-nabi terdahulu.
Telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa sumber utama Ilmu dalam Islam adalah: Alquran dan hadits. Alquran sudah dijamin Allah tentang kebenarannya dan keterjagaannya. Allah SWT berkalam dalam surat al-Hijr ayat 9 yang berbunyi:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ “Inna nahnu nazzalna dzirko wa inna lahu lahaafidzun”. Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan al-Dzikru (nama lain Alquran) dan Kamilah Pemelihara-pemeliharanya.”
Sedangkan hadits juga sudah di teliti dan melalui seleksi yang ketat. Artinya sumber normatif ajaran Islam selalu ada dan dapat diakses kaum Muslimin. Namun masalahnya, apakah setiap individu Muslim mampu melakukan istinbath (pengambilan) hukum dan pemahaman dari kedua sumber tersebut?
Tentu tidak. Maka di sinilah perlunya kita mengenal dengan istilah sanad, atau mata rantai dalam sebuah keilmuan, yang terus menerus bersambung sampai kepada para sahabat dan Rasulullah SAW. Ibnu al-Mubarak, sebagaimana dikutip oleh Imam Muslim mengatakan bahwa:
الإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ “al Isnadu minaddin, wa lau laa al isnadu laqoola man sya’a wa ma sya’a” Artinya: “Isnad adalah urusan agama. Kalau urusan isnad tidak diperhatikan, maka setiap orang bisa bicara apa saja sekehendak hatinya”.
Oleh karena itu dalam Islam tidak hanya disuruh memperhatikan sanad dalam urusan validitas/kebenaran riwayat teks atau matan sebuah hadis. Makna dan pemahaman yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dan hadis nabawi juga harus didapatkan dari para guru dengan sanad (rantai) yang muttashil (terus bersambung). Bahkan Syekh Abu Yazid pernah berkata:
من لَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ شَيْطَانٌ ”Man laisa lahu syaikh fasyaikhu syaithan”. Artinya: “Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka guru nya adalah setan”. Nashiru al-Din al-Asad, dalam kitabnya Mashadiru al-Syi'ri al-Jahily, ketika membahas mengenai isnad atau jalur transmisi keilmuan, mengatakan bahwa:
“Para ulama salaf menganggap dhaif atau lemah keilmuan seseorang yang hanya mengambil ilmu dari teks yang ada pada lembaran-lembaran tertulis tanpa merujuknya kepada para ulama.”