REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - Setidaknya tujuh orang tewas di Myanmar setelah pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa anti-kudeta, Kamis (11/3). Kekerasan itu terjadi sekalipun Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) meminta militer untuk menahan diri sepenuhnya dalam menanggapi demonstran damai dan kelompok hak asasi. Amnesty International menuduh militer mengadopsi taktik medan perang melawan demonstran damai.
Enam orang dilaporkan tewas di pusat kota Myaing pada Kamis. Menurut seorang pria yang membawa jasad satu pendemo, aparat keamanan menembaki para pengunjuk rasa yang tengah berdemo damai. Dia mengatakan, bahwa dia membantu pendemo yang tertembak ke rumah sakit namun nyawanya tak tertolong. Seorang petugas kesehatan di sana kemudian memastikan keenam kematian tersebut.
"Kami memprotes dengan damai," kata pria berusia 31 tahun itu seperti dikutip laman Aljazirah, Kamis. "Saya tidak percaya mereka melakukannya," ujarnya menambahkan.
Sementara satu orang tewas di distrik North Dagon di Yangon, kota terbesar Myanmar. Foto-foto yang diunggah di Facebook menunjukkan seorang pria berbaring telungkup di jalan, berdarah karena luka di kepala.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militernya menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari. Perebutan kekuasaan, hanya satu dekade setelah berakhirnya 49 tahun pemerintahan militer yang ketat, memicu protes besar-besaran di seluruh negeri.
Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik mengatakan pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 60 pengunjuk rasa dan menangkap 2.000 lainnya dalam tindakan keras. Tentara telah membenarkan kudeta tersebut dengan mengatakan bahwa pemilu, yang dimenangkan oleh Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi, dinodai oleh penipuan, padahal tudingan penipuan sudah ditolak oleh komisi pemilihan.