REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintahan Amerika Serikat (AS) memberikan bantuan izin kerja kepada warga Myanmar yang tinggal di AS. Upaya ini, menurut Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) pada Jumat (11/3), karena tindakan keras militer setelah kudeta 1 Februari.
Menurut dua pejabat pemerintahan, keputusan itu berarti sekitar 1.600 warga Myanmar yang sudah berada di AS akan memenuhi syarat untuk Status Dilindungi Sementara (TPS) selama 18 bulan. Program ini memberikan imigran yang tidak dapat kembali ke negara mereka dengan selamat karena alasan seperti bencana alam atau konflik bersenjata.
Aturan ini membuat warga negara asing untuk tinggal dan bekerja di AS secara legal untuk jangka waktu tertentu yang dapat diperpanjang. "Karena kudeta militer dan kekerasan brutal pasukan keamanan terhadap warga sipil, rakyat Burma menderita krisis kemanusiaan yang kompleks dan memburuk di banyak bagian negara itu,” kata Menteri Keamanan Dalam Negeri, Alejandro Mayorkas.
Hanya orang yang sudah tinggal di AS dan dapat menunjukkan tempat tinggal berkelanjutan per 11 Maret 2021 yang memenuhi syarat untuk program tersebut. Kondisi ini pun berlaku bagi diplomat Myanmar di AS yang terbuka menentang militer, termasuk Perwakilan Tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kyaw Moe Tun. "Kami ingin mereka tahu bahwa mereka dapat melakukannya dengan aman," kata pejabat pemerintahan AS.
Pejabat pemerintah mengatakan situasi di Myanmar pascakudeta membuat orang Burma sulit untuk kembali. AS merujuk pada tindakan keras oleh pasukan keamanan, penahanan sewenang-wenang, dan memburuknya kondisi kemanusiaan. Penyelidik hak asasi manusia PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan bahwa junta telah menewaskan sedikitnya 70 orang dan menahan lebih dari 2.000.
Para pejabat AS mengatakan, kecuali militer berbalik arah, tindakan hukuman yang lebih mungkin terjadi. "Jika mereka tidak memulihkan demokrasi dan menghentikan kekerasan terhadap warga sipil, maka kami akan terus mengambil tindakan ... terhadap para pemimpin militer dan jaringan keuangan mereka," kata seorang pejabat.