REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian BUMN hendak membentuk holding panas bumi. Harapannya dengan pembentukan holding ini maka bisa meningkatkan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Sayangnya, pembentukan holding ini bukan tanpa tantangan. Ada dua hal yang perlu disepakati oleh pemerintah mengenai resiko pembentukan holding ini. Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Heri Setiawan mengatakan ada beberapa hal yang menjadi tantangan.
Pertama, kata Heri dengan pembentukan holding maka ada resiko strukturnya menghilangkan status BUMN. Karena anggota holding tak lagi menyandang status BUMN maka pendanaan pemerintah akan hilang seperti fasilitas subsidiary loan agreement (SLA). “Penjaminan direct lending itu akan hilang,” kata Heri, Sabtu (13/3).
Selain itu, selama ini beberapa perusahaan panas bumi milik pemerintah mengerjakan WK Panas Bumi yang merupakan penugasan dari pemerintah. Menurut Heri, ini juga perlu diperjelas status kepemilikannya pasca menjadi holding. “Apakah statusnya akan dikembalikan karena statusnya kalau anak usaha atau cucu, tidak akan di-treat sebagai BUMN,” ungkap Heri.
Heri menjelaskan saat ini kajian pembentukan holding masih berlangsung termasuk melibatkan Kementerian Keuangan karena sedang dilihat struktur pembiayaan panas bumi ke depan sepert apa.“PLTP ini kan memang risikonya besar, ini kapasitasnya jadi besar. Proses sedang berjalan, salah satu kami ikut urun rembuk. Pertimbangan aspek risiko APBN dan pertimbangan pengembangan geothermal ini saat ini sedang kami timbang-timbang, struktur mana yang optimal. Apakah masih dibutuhkan yang sifatnya komersial atau bumn yang sifatnya penugasan,” jelas Heri.
Ada tiga perusahaan yang disiapkan pemerintah untuk bergabung dan menjadi holding panas bumi yang ditargetkan rampung tahun ini yakni Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT Geo Dipa Energi serta PT PLN Gas & Geothermal (PLN GG).