REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Gelombang protes terhadap rezim junta militer terus bergaung di Myanmar. Tidak hanya menjalar kepada kelompok sipil, aksi penolakan terhadap kudeta Myanmar juga menggema dari para diplomat negara itu.
Aksi protes para diplomat Myanmar diawali oleh Utusan Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun pada akhir Februari yang meminta masyarakat internasional untuk bertindak menggunakan "segala cara yang diperlukan" terhadap junta militer guna mengembalikan pemerintah yang terpilih secara demokratis. Kyaw Moe Tun mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa militer telah menjadi ancaman eksistensial bagi Myanmar.
Dia juga menceritakan tindakan kekerasan militer terhadap para demonstran yang menuntut pemulihan demokrasi setelah kudeta.
"Sekarang bukan saatnya masyarakat internasional menoleransi kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer Myanmar," kata Tun.
“Kami, komite yang mewakili Pyidaungsu Hluttaw, CRPH, meminta PBB, Dewan Keamanan PBB, dan komunitas internasional - yang ingin membangun masyarakat global yang damai dan beradab - untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk mengambil tindakan terhadap militer Myanmar dan memberikan keselamatan dan keamanan bagi rakyat Myanmar,” kata dia.
Pyidaungsu Hluttaw adalah badan yang terdiri dari anggota parlemen terpilih yang digulingkan secara paksa oleh militer selama kudeta. Badan itu juga dikenal sebagai Komite Mewakili Pyidaungsu Hluttaw (CRPH).
Kyaw Moe Tun selanjutnya pada awal Maret menegaskan dirinya masih berstatus sebagai duta besar resmi Myanmar untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selain Kyaw Moe Tun, Kedutaan Myanmar untuk Amerika Serikat di Washington DC juga mengisyaratkan pemutusan hubungan dengan junta militer.
Kedubes Myanmar di DC bahkan merilis pernyataan keras terkait kecaman terhadap kekerasan hingga kematian warga sipil yang melakukan protes terhadap kudeta dan menyerukan pihak berwenang untuk menahan diri sepenuhnya. Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada 4 Maret, Kedutaan Myanmar di Washington DC menyesalkan banyaknya korban jiwa dari masyarakat sipil yang sedang mengekspresikan pendapat dan aspirasi secara damai untuk mengembalikan pemerintahan yang sah.
"Kami menolak keras penggunaan kekuatan senjata terhadap masyarakat sipil yang sedang mengekspresikan pendapatnya secara damai," kata keterangan tertulis Kedutaan Myanmar di Washington DC.
Kedutaan Myanmar menegaskan akan terus berjuang untuk negara Myanmar yang berdaulat dan untuk kepentingan rakyat Myanmar. Gaung kecaman kepada rezim militer Myanamr juga disuarakan Duta Besar Myanmar untuk Inggris Kyaw Zwar Minn. Minn menyerukan pembebasan pemimpin negaranya yang ditahan Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
"Kami meminta pembebasan Penasihat Negara Daw Aung San Suu Kyi dan Presiden U Win Myint," kata Kyaw Zwar Minn dalam pernyataannya.
Desakan Dubes Minn menjadi pemberontakan diplomatik yang semakin meluas dalam melawan junta di Myanmar. Minn mengatakan duta besar adalah seorang diplomat karena itu dia memilih jalur diplomatik untuk menyelesaikan krisis di Myanmar.
“Jawaban atas krisis saat ini hanya ada di meja perundingan,” ucap dia.
Desakan dari Dubes Minn diucapkan setelah berbicara dengan Menlu Dominic Raab dan Menteri Inggris untuk Asia, Nigel Adams. Inggris telah menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin lainnya yang digulingkan dalam kudeta militer 1 Februari. Mereka juga menuntut pemulihan demokrasi.
"Saya memuji keberanian dan patriotisme Duta Besar Myanmar Kyaw Zwar Minn dalam menyerukan pembebasan Aung Sung Suu Kyi dan Presiden U Win Myint dan agar hasil pemilu 2020 dihormati," kata Raab dalam sebuah pernyataan.
Merespons seruan Minn, Junta militer memerintahkan Duta Besar untuk Inggris Kyaw Swar Min, segera pulang. Pengumuman itu disampaikan oleh junta militer Myanmar melalui siaran stasiun televisi negara, MRTV. Menurut mereka alasan memanggil pulan Min adalah karena sang diplomat tidak mengikuti arahan pemerintah.
"Setelah dia tidak bersikap sesuai dengan tanggung jawab yang diemban, maka kami meminta dia untuk segera pulang dan dikembalikan ke Kementerian Luar Negeri," ujar pernyataan junta militer.
73 orang tewas sejak kudeta