REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) sempat menyandera pesawat PT Asi Pudjiastuti Aviation, Pilatus PC-6 S1-9364 PK BVY, di Lapangan Terbang Wangbe, Distrik Wangbe, Kabupaten Puncak, Papua. Pilot pesawat tersebut, Kapten Ian John Terrence Hellyer mengungkapkan, pesawat disandera selama dua jam oleh 30 orang KKSB.
“Kami telah mendapat laporan informasi adanya penyanderaan pesawat selama dua jam di Lapangan Terbang Wangbe, Kabupaten Puncak,” ujar Kepala Penerangan Kogabwilhan III, Kolonel Czi IGN Suriastawa, saat dikonfirmasi, Sabtu (13/3).
Suriastawa mengarakan, penyanderaan berakhir setelah dilakukan negosiasi antara penumpang dengan pihak KKSB. Baru ekitar pukul 08.36 WIT pesawat Susi Air PK BVY dapat lepas landas menuju Terminal UPBU Bandara Moses Kilangin, Timika, Papua, dan mendarat dengan aman.
“Meskipun tidak terjadi korban, namun kejadian ini menunjukkan aksi teror KKSB di wilayah Papua, termasuk teror terhadap aktivitas penerbangan sipil. Dan kami selalu berkoordinasi erat dengan pihak kepolisian" kata dia.
Sementara itu, Ian selaku pilot pesawat tersebut mengungkapkan, dia dan tiga penumpang warga Papua sempat disandera oleh sekitar 30 orang KKSB selama dua jam di Lapangan Terbang Wangbe, sekitar pukul 06.20 WIT. Tiga orang penumpang merupakan warga asli Papua, yakni Ricky Dolame, Arikala Dolame, dan Arike Wandikbo.
Berdasarkan keterangan pilot berkewarganegaraan Selandia Baru itu, dua di antara puluhan KKSB tersebut membawa senjata laras panjang. Selama disandera selama dua jam itu, walaupun merasa khawatir akan keselamatannya karena sempat ditodong senjata, pilot dan tiga penumpang tidak mengalami tindak kekerasan.
Saat disandera, KKSB sempat mengancam agar pesawat maskapai Susi Air dilarang membawa penumpang aparat TNI/Polri. Selain itu, KKSB juga menyampaikan kekecewaannya dengan kepala kampung karena tidak memberikan dana desa.
Lapangan terbang Wangbe di Kabupaten Puncak berjarak 43 km dari Sinak, Papua, atau 48 km dari Sugapa, Papua. Di daerah tersebut belum terdapat jaringan telepon dan internet.
Sebelumnya, Suriastawa menerangkan, meski terdapat banyak faksi dan saling berebut kepentingan di internalnya, secara garis besar kelompok itu terdiri dari tiga sayap gerakan, yakni sayap politik, klandestin, dan bersenjata.
Menurut dia, sayap gerakan tersebut memanfaatkan media sosial untuk saling berkomunikasi, merencanakan aksi, dan menyebarkan berita bohong untuk membentuk opini buruk tentang pemerintah Indonesia. Itu termasuk juga terhadap TNI-Polri terkait masalah Papua melalui berbagai platform media sosial.
“Jadi yang dihadapi bukan hanya KKSB yang ada di gunung-gunung saja, tetapi juga politik (dalam dan luar negeri) dan kelompok klandestin yang bisa berprofesi apapun,” ujar Suriastawa.
Suriastawa mengatakan, KKSB di media sosial kerap memberitakan berhasil menembak mati puluhan TNI-Polri dengan menyebut waktu dan tempat tertentu. Menurut dia, itu dilakukan agar kabar tersebut seolah-olah benar terjadi, padahal berita tersebut bohong.
Padahal, kta Suriastawa, untuk mengetahui kebenaran jatuhnya korban dari TNI-Polri sangatlah mudah. Sebab TNI-Polri adalah alat negara resmi yang tertib administrasinya. Di mana ketika ada satu aja personel yang gugur, pasti akan diikuti dengan proses administrasi yang jelas.
Menurut Suriastawa, penyebaran berita bohong dari KKSB bertujuan untuk memprovokasi, mengintimidasi sekaligus membentuk opini gerakan sayap bersenjata mereka selalu unggul. Sebaliknya, kata dia, setiap korban yang jatuh akibat kontak tembak dan aksi penindakan dari TNI-Polri, diklaim sebagai warga sipil.
Untuk sayap gerakan bersenjata KKSB, dia menyebut mereka bergerilya dalam kelompok-kelompok kecil dan tidak semuanya membawa senjata saat melancarkan aksinya. Dalam setiap aksinya itu, dari lima hingga tujuh orang hanya satu atau dua orang saja yang bersenjata.
"Bila terjadi kontak, orang yang selamat bertugas membawa kabur senjata. Kemudian diposting di medsos mereka bahwa korban adalah warga sipil karena tidak bersenjata,” jelas dia.