Senin 15 Mar 2021 19:36 WIB

Junta Myanmar Umumkan Darurat Militer di Enam Kota

Menurut AAPP sedikitnya 38 orang meninggal pada Ahad dan puluhan lainnya luka-luka.

Rep: dwina agustin/ Red: Hiru Muhammad
 Pengunjuk rasa anti-kudeta memberikan penghormatan tiga jari selama unjuk rasa malam yang diterangi cahaya lilin di Yangon, Myanmar Minggu, 14 Maret 2021. Setidaknya empat orang ditembak mati selama protes di Myanmar pada hari Minggu, ketika pasukan keamanan melanjutkan tindakan keras mereka terhadap perbedaan pendapat menyusul kudeta militer bulan lalu.
Foto: ap/AP
Pengunjuk rasa anti-kudeta memberikan penghormatan tiga jari selama unjuk rasa malam yang diterangi cahaya lilin di Yangon, Myanmar Minggu, 14 Maret 2021. Setidaknya empat orang ditembak mati selama protes di Myanmar pada hari Minggu, ketika pasukan keamanan melanjutkan tindakan keras mereka terhadap perbedaan pendapat menyusul kudeta militer bulan lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Junta yang berkuasa di Myanmar telah mengumumkan darurat militer di enam kota yang berada di Yangon. Aturan ini mengikuti serangkaian perintah ketat dalam menahan arus informasi mulai dari memutus layanan internet hingga membungkam media.

Penyiar negara bagian MRTV mengatakan, pada Senin (15/3), bahwa kota-kota Yangon di Dagon Utara, Dagon Selatan, Dagon Seikkan dan Okkalapa Utara telah dimasukkan ke dalam darurat militer. Pada Ahad (14/3) malam, militer mengumumkan hanya dua kota, Hlaing Thar Yar dan Shwepyitha, berada di bawah darurat militer.

Sejak pengambilalihan 1 Februari, Myanmar berada dalam keadaan darurat nasional. Para pemimpin sipil digulingkan dan ditahan dan para pemimpin militer bertanggung jawab atas semua pemerintahan.

Tapi, pengumuman akhir pekan adalah penggunaan darurat militer pertama sejak kudeta. Pengumuman terbaru ini menyarankan pengawasan keamanan militer yang lebih langsung daripada polisi setempat.

Pengumuman tersebut mengatakan bahwa Dewan Administrasi Negara bertindak untuk meningkatkan keamanan dan memulihkan hukum dan ketertiban. Komandan daerah Yangon telah dipercayakan dengan kekuasaan administratif, peradilan, dan militer di daerah di bawah komandonya.

Perintah tersebut mencakup enam dari 33 kota di Yangon, yang semuanya mengalami kekerasan besar dalam beberapa hari terakhir. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sedikitnya 38 orang meninggal pada Ahad dan puluhan lainnya luka-luka.

AAPP menyatakan, Hlaing Thar Yar adalah lokasi 22 warga sipil meninggal dunia. Lembaga independen ini mengatakan, lebih dari selusin warga sipil terluka dan menggambarkan sejumlah besar pasukan junta terlibat di kota itu. Sedangkan empat kematian lainnya dilaporkan di kota Bago, Mandalay, dan Hpakant.

Penghitungan AAPP terhadap korban akhir pekan meningkatkan jumlah warga sipil yang dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta menjadi lebih dari 100. Konfirmasi jumlah korban hampir tidak mungkin karena situasi keamanan dan tindakan keras terhadap media independen di Myanmar, tetapi berbagai kelompok telah mengumpulkan penghitungan dengan angka serupa.

Jumlah kematian sebenarnya kemungkinan lebih tinggi, karena polisi tampaknya telah menyita beberapa mayat. Beberapa korban mengalami luka tembak yang serius sehingga staf medis di klinik darurat akan kesulitan untuk merawatnya. Banyak rumah sakit ditempati oleh aparat keamanan dan akibatnya diboikot oleh petugas medis dan dijauhi oleh pengunjuk rasa.

Polisi juga secara agresif berpatroli di lingkungan permukiman pada malam hari, menembak ke udara dan meledakkan granat setrum sebagai taktik intimidasi. Mereka juga telah membawa orang-orang dari rumah dalam penggerebekan yang ditargetkan dengan perlawanan minimal. Setidaknya dalam dua kasus yang diketahui, para tahanan meninggal dalam tahanan beberapa jam setelah dibawa pergi.

Dalam taktik baru, demonstran anti-kudeta menggunakan penutup wajah untuk mengadakan acara nyala lilin massal di berbagai bagian Yangon selama akhir pekan. Beberapa acara dilangsungkan setelah pukul 20.00, ketika jam malam diberlakukan oleh pihak berwenang dimulai.

Gerakan protes telah didasarkan pada pembangkangan sipil tanpa kekerasan sejak awal, dengan pawai dan pemogokan umum. Namun, beberapa pengunjuk rasa telah menganjurkan metode pertahanan diri yang lebih kuat dan lebih gesit.

Demonstran mulai mengadakan aksi unjuk rasa kecil yang cepat untuk membubarkan diri dan bersatu kembali. Mereka pun merancang perlindungan dari alat pemadam kebakaran, pakaian yang mengepul, dan ban yang terbakar. 

 

sumber : ap
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement