REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Rencana pemerintah membuka keran impor garam dalam memenuhi pasokan kebutuhan garam dalam negeri dipertanyakan. Kebijakan ini dinilai tidak belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) Universitas Gadjah Mada (UGM), Putut Indriyono, menyayangkan rencana tersebut. Apalagi, ia merasa, pemerintah masih belum memiliki desain pengembangan industri garam nasional yang jelas.
Jadi, belum ada strategi komprehensif dan peta jalan. Ia melihat, pemerintah cenderung membuat kebijakan impor cuma merespons kecenderungan permintaan pasar dan tidak melihat sisi strategi pengembangan industri garam jangka panjang.
"Kebijakan cenderung bersifat reaktif jangka pendek dan tidak konstruktif," kata Putut, Selasa (16/3).
Maka itu, ia mengkritik rencana membuka keran impor garam ini. Menurut Putut, kebijakan impor semacam ini selalu terus berulang dan pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya setiap kali pemerintah membuka impor garam.
"Selalu tanpa jawaban kepastian tahun depan tidak dilakukan kebijakan sama," ujar Putut.
Pemerintah harus memiliki data valid kebutuhan garam, perhatikan kesejahteraan petani garam. Angka kebutuhan garam setiap tahun seharusnya sudah diprediksi tonasenya, sehingga selalu ada target pengurangan impor dari tahun ke tahun.
"Diikuti target kebijakan produksi dari dalam negeri. Bila ini dilakukan beberapa tahun ke depan maka swasembada garam dapat dicapai," kata Putut.