REPUBLIKA.CO.ID, COLOMBO -- Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan, Ahmed Shaheed, menyatakan larangan burqa tidak sesuai dengan hukum internasional. Padahal aturan itu menjamin hak untuk mewujudkan agama atau keyakinan dan kebebasan berekspresi.
Sri Lanka mengumumkan rencana melarang pemakaian burqa. Pemerintah pun akan menutup lebih dari 1.000 sekolah Islam yang dikenal sebagai madrasah dengan alasan keamanan nasional.
Menteri Keamanan Publik Sri Lanka, Sarath Weerasekara, menyebut burqa sebagai tanda ekstremisme agama. Dia menilai burqa berdampak langsung pada keamanan nasional.
Pertimbangan itu yang menjadi alasan Weerasekara menandatangani sebuah proposal meminta persetujuan Kabinet untuk melarang burqa pada Jumat (12/3). Sri Lanka juga berencana untuk melarang lebih dari 1.000 Madrasah, dengan alasan mereka tidak terdaftar di pihak berwenang dan tidak mengikuti kebijakan pendidikan nasional.
Pemakaian burqa di Sri Lanka untuk sementara dilarang pada 2019 setelah serangan bom Minggu Paskah di gereja dan hotel. Peristiwa ini menewaskan lebih dari 260 orang di negara kepulauan Samudra Hindia itu.
Keputusan untuk melarang burqa dan madrasah adalah langkah terbaru yang mempengaruhi minoritas Muslim Sri Lanka. Muslim membentuk sekitar 9 persen dari 22 juta orang di Sri Lanka, dengan umat Buddha mencakup lebih dari 70 persen populasi. Etnis minoritas Tamil, yang sebagian besar beragama Hindu, berjumlah sekitar 15 persen dari populasi.