Selasa 16 Mar 2021 17:07 WIB

Bulog: Isu Impor Beras Mulai Tekan Harga Gabah Petani

Importasi beras bisa menjadi beban baru bagi Bulog karena sisa impor 2018 masih ada.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Sub Divre VI Pekalongan, Munjungagung, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (12/3/2021). Meskipun pemerintah berencana impor beras, Bulog Sub Divre VI Pekalongan tetap melakukan penyerapan hasil panen petani lokal dan hingga saat ini penyerapan mencapai 2.500 ton dengan target 49.500 ton hingga akhir tahun 2021.
Foto: ANTARA/Oky Lukmansyah
Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Sub Divre VI Pekalongan, Munjungagung, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (12/3/2021). Meskipun pemerintah berencana impor beras, Bulog Sub Divre VI Pekalongan tetap melakukan penyerapan hasil panen petani lokal dan hingga saat ini penyerapan mencapai 2.500 ton dengan target 49.500 ton hingga akhir tahun 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengatakan, isu pembukaan keran impor beras sebanyak 1 juta ton mulai memberikan tekanan terhadap harga gabah petani. Pasalnya, rencana tersebut diketahui publik disaat masa-masa panen raya padi pertama tahun ini.

"Ada benturan antara produksi dalam negeri dan impor. Ini baru diumumkan harga di petani drop," kata Buwas, sapaan akrabnya, dalam rapat dengar pendapat bersama Badan Legislasi DPR, Selasa (16/3).

Baca Juga

Ia mengatakan, tak hanya menekan petani, importasi beras bisa menjadi beban baru bagi Bulog. Pasalnya, sisa beras eks impor tahun 2018 hingga kini masih tersisa 275 ribu ton. Penyaluran beras oleh Bulog menjadi tak lancar lantaran kini tidak lagi menjadi penyalur tunggal bantuan beras yang pangsa pasarnya mencapai 2,6 juta ton per tahun.

Menurutnya, jika impor beras ditambah tak akan menyelesaikan masalah bagi Bulog. Sebab, sebagian atau 500 ribu ton beras yang direncanakan diimpor adalah untuk cadangan beras pemerintah (CBP). Penyaluran CBP harus seizin pemerintah sementara biaya penyimpanan ditanggung oleh Bulog.

Dengan kata lain, jika penyaluran beras tersendar, ruang bagi Bulog untuk menyerap gabah juga ikut terbatas. Itu bisa berimbas pada kemampuan Bulog untuk membantu petani dalam melakukan stabilisasi harga, terutama ketika harga gabah tengah jatuh.

Budi mengatakan, pihaknya telah menjelaskan persoalan yang dihadapi Bulog kepada pemerintah. Pembahasan pernah mengarah agar ada penanganan lebih lanjut mengenai sisa beras impor itu. Di mana, akan ditangani oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian untuk dibuat tepung.

"Tapi sampai sekarang belum bisa dilaksanakan. Ini beban Bulog. Sekarang stok cukup dan jika ditambah impor ini tidak akan selesaikan masalah," ujarnya.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan, harga gabah saat ini tengah dalam tren penurunan meski belum memasuki puncak panen raya.

Ia mencontohkan seperti di Indramayu, Jawa Barat di mana harga gabah kering panen (GKP) yang sudah menyentuh Rp 3.700-Rp 3.800 per kilgoram (kg) atau di bawah acuan pemerintah Rp 4.200 per kg.

Sementara itu, di tingkat penggilingan, harga beras medium di kisaran Rp 8.500-Rp 9.000 per kg dari biasaya di atas Rp 9.000 per kg dan premium berkisar Rp 9.000 per kg dari harga normal di atas Rp 9.500 per kg.

Isu impor beras memperburuk keadaan lantaran menjelang musim panen dan hasil panen petani yang kurang optimal. Pasalnya, curah hujan tinggi membuat kadar air gabah menjadi tinggi sehingga kualitas menurun.

"Harga gabah di Subang, Indramayu, Demak, Bojonegoro, dan Ngawi yang sudah mulai panen semua di bawah harga acuan," kata dia.

Said mengatakan, isu impor beras secara nyata membentk psikologis pasar. Termasuk para pengusaha penggilingan yang bisa membatas pembelian atau menurunkan harga beli ke petani. "Baru isu saja sudah mempengaruhi persepsi pelaku usaha. Pengusaha-pengusaha pasti akan berhitung dan melakukan adjusment," kata dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement