REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Armenia untuk Indonesia Dziunik Aghajanian mengungkapkan situasi di wilayah sengketa Nagorno-Karabakh masih belum menentu walaupun sudah ada kesepakatan gencatan senjata dengan Azerbaijan bulan November lalu. Aghajanian mengatakan, saat ini, pamer kekuatan masih terjadi.
"Saya bisa katakan pamer kekuatan saat ini sama seperti yang terjadi bulan Agustus tahun lalu, Anda sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya, hal itu tidak bisa diabaikan, terutama bila Anda membandingkannya dengan perkembangan geopolitik saat ini," kata Aghajanian dalam pertemuannya dengan Republika yang digelar secara virtual, Selasa (16/3).
Radio Free Europe/Radio Liberty juga melaporkan Selasa ini Armenia menggelar latihan militer skala besar. Tepat satu hari setelah Azerbaijan menggelar latihan militer yang berlangsung selama empat hari dan melibatkan ribuan tentara.
Deputi Menteri Pertahanan Armenia Arman Sargsian mengatakan pasukannya menguji kekuatan pertahanan mereka dalam latihan besar pertama sejak perang Nagorno-Karabakh yang pecah September tahun lalu. Kementerian Pertahanan Armenia mengatakan latihan yang digelar 16 hingga 20 Maret ini melibat 7.500 personel pasukan, 100 tank, dan kendaraan militer, 300 artileri dan sistem anti-pesawat.
Hal ini menunjukkan kesepakatan gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan ini ditengahi Rusia masih belum sepenuhnya berjalan. Aghajanian mengatakan selain Rusia, Turki turut berperan dengan mendirikan pusat pengawasan gencatan senjata di Nagorno-Karabakh.
Kesepakatan tersebut mendorong gejolak politik di Armenia. Angkatan bersenjata dan berbagai pihak lainnya yang tak puas menuntut Perdana Menteri Nikol Pashinyan untuk mundur.
Aghajanian mengatakan saat ini semua partai politik dan berbagai pihak berusaha mencari jalan tengah untuk mengakhiri krisis. Ia berharap hasil dari kesepakatan sudah dapat diraih beberapa hari kedepan. Ia juga membantah krisis politik saat ini antara Nikol Pashinyan dan militer.
"Banyak partai juga yang meminta perdana menteri mundur, jadi bukan konflik dengan militer, militer salah satu pihak yang mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai situasi keamanan, dan juga memintanya mundur, tapi tidak hanya militer yang memintanya mundur," tambah Aghajanian.
Menurutnya popularitas Nikol Pashinyan sudah turun secara signifikan. Kini yang menjadi masalahnya adalah isu hukum. Hukum Armenia tidak mengatur bila perdana menteri yang diminta oleh banyak orang mundur tidak bersedia untuk menyerahkan jabatan.
"Jadi kemungkinannya ia akan mengundurkan diri sehingga memungkinkan hukum dan sistem demokrasi untuk melangkah maju tapi berdasarkan konstitusi saat ini hal itu tidak dapat dipaksakan," katanya.
Gejolak politik di Armenia kali ini berbeda dari tahun revolusi 2018 yang dipimpin Nikol Pashinyan. Krisis kali ini disebabkan konflik lama dengan Azerbaijan untuk memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh.
Lantas siapa yang memiliki Nagorno Karabakh?