REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR M.Misbakhun mengingatkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berhati-hati soal insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik.
Politikus Golkar itu itu mengatakan, pemerintah harus benar-benar berhitung soal pemberian insentif tersebut, termasuk risikonya.
“Insentif terhadap suatu sektor akan menjadi disinsentif terhadap sektor yang lain,” ujar Misbakhun dalam keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (16/3).
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu itu menegaskan, perlakuan terhadap mobil listrik tidak bisa disamakan dengan kendaraan berbahan bakar fosil. “Tidak apple to apple membandingkan emisi yang sources-nya berbeda dengan electricity,” katanya.
Menurut Misbakhun, insentif itu belum tentu langsung menarik investor menanamkan modal di bidang industri mobil listrik. Wakil rakyat asal Pasuruan, Jawa Timur itu mengkawatirkan insentif tersebut akan menjadi pengorbanan besar bagi Indonesia.
“Kalau memang concern kita mau ke electricity vehicle battery atau hybrid sekalipun, menurut saya sacrifice (pengorbanan, red) kita begitu besarnya,” tuturnya.
Misbakhun menjelaskan, industri otomotif juga mencakup banyak ekosistem, termasuk pembuat komponen pendukungnya. Kalaupun pemerintah meyakini industri otomotif dalam negeri akan langsung melompat ke mobil listrik, Misbakhun meragukan ekosistem pendukungnya akan ikut serta.
“Apakah kemudian di Indonesia komponen pendukungnya dan ekosistemnya akan mendukung mereka melakukan lompatan itu?” ucapnya.
Legislator di Komisi Keuangan dan Perpajakan itu menuturkan, masyarakat Indonesia sudah ada yang menunggang mobil mewah sekelas Tesla, Lamborghini, bahkan Bugatti. Namun, di jalanan juga masih ada Kijang Kapsul, Kijang Doyok ataupun mobil lawas lainnya.
Oleh karena itu Misbakhun mengkhawatirkan insentif PPnBM justru menjadi bentuk ketidakadilan. “Faktor fairness-nya harus dapat dirasakan oleh masyarakat,” sambungnya.
Jika memang pemerintah memberikan insentif PPnBM mobil listrik hingga 0 persen, Misbakhun meminta risiko fiskalnya juga dihitung. Lebih-lebih, sampai saat ini minat masyarakat akan mobil listrik masih kurang.
“Kenapa electricity vehicle ini kurang diminati oleh banyak orang? Orang belum melihat mengenai durability dan daya tahannya seperti apa,” ulas Misbakhun.
Selain itu, Misbakhun juga menyinggung tentang risiko lingkungan. Menurut dia, sampai sekarang belum ada teknologi daur ulang limbah baterai.
“Siapa yang akan mengelola risiko ini?” katanya.
Misbakhun sudah menyampaikan pandangannya ini di dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajarannya di Jakarta, Senin (15/3/2021). Sekaligus menanggapi lontaran Menteri Sri soal rencana perubahan Peraturan Pemerintah (PP) 73/2019.
Untuk diketahui, PP 73 2019 telah diundangkan pada 16 Oktober 2019. PP mengatur pemberlakuannya dalam 2 tahun sejak diundangkan, atau mulai 16 Oktober 2021 untuk memberikan transisi pada industri otomotif.