REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjelaskan alasan pembukaan keran ekspor benih lobster (benur). Edhy menyampaikan hal itu saat menjadi saksi dalam kasus suap ekspor benur, dengan terdakwa Direktur PT. Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) Suharjito.
"Dilatarbelakangi saat saya ketua Komisi IV DPR, mitra-nya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Ibu Susi, banyak sekali masukan di pesisir Pulau Jawa, Lombok, Bali, Indonesia Timur, Sulawesi merasa kehilangan pekerjaan dengan diberlakukan-nya Peraturan Menteri No. 56 soal pelarangan penangkapan benih lobster," kata Edhy Prabowo melalui sambungan "video conference" di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (17/3).
Permen No. 56 tahun 2016 yang dibuat mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti berisi penangkapan lobster dan melarang perdagangan benih lobster (benur). Sedangkan pada 14 Mei 2020, Edhy Prabowo menerbitkan Peraturan Menteri KKP No. 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster ("Panulirus spp"), Kepiting ("Scylla spp") dan Rajungan ("Portunus spp") di wilayah NKRI yang isinya antara lain mengizinkan dilakukannya budi daya dan ekspor BBL.
"Benih lobster ini merupakan sumber daya alam yang secara alamiah tiap tahun selalu ada. Fase-fase besar kecilnya tergantung musim, selama ini menjadi penghidupan masyarakat pesisir, hidupnya tergantung untuk menyekolahkan anaknya, menafkahi keluarganya, ketika ada Kepmen No. 56 mereka tidak bekerja," ujar Edhy.
Edhy pun mengingatkan bila ada masalah lingkungan maka perlu ada kajian dan bila ada kebijakan yang menghilangkan pekerjaan masyarakat harus ada solusi. "Akibatnya banyak sekali ada protes, masukan dari Kapolri, ada polsek yang dibakar, saya secara prinsip tidak berpikir jauh dulu, yang paling penting sebagai menteri, ini banyak potensi, ada kebijakan yang bisa dihidupkan saat ini, tapi bisa menghidupi orang untuk makan," ungkap Edhy.
Edhy menyebut kebijakan pembukaan keran ekspor benur itu tidak hanya berdasarkan keputusannya pribadi. Ia mengungkapkan telah meminta pendapat ahli terkait hal tersebut.
"Waktu saya menteri tapi agak berat, karena dihajar media, karena dianggap bertentangan lingkungan, ini kita ajak semua. Di KKP ada badan riset, semua itu beranggotakan para ahli dari lembaga akademis," jelas Edhy.