REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Pemerintah Sri Lanka bersikeras mencegah wanita Muslim mengenakan burqa sebagai langkah keamanan nasional. Pernyataan ini dikatakan setelah munculnya beragam protes atas keputusan tersebut.
Muslim Sri Lanka mengecam tindakan tersebut sebagai tindakan baru diskriminasi terhadap komunitas mereka. Muslim Sri Lanka menyumbang 10 persen dari 21 juta populasi mayoritas Buddha.
Pemerintah nasionalis Kolombia menjelaskan telah melakukan berbagai upaya pengamanan ketat selama ini. Hal ini merupakan reaksi dari serangan bom bunuh diri pada April 2019 yang menewaskan 279 orang.
Larangan burqa, pakaian tradisional Islam dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan kerudung niqab, diumumkan Sabtu lalu oleh Menteri Keamanan Publik Sarath Weeraseker. Ia bahkan menyebut pakaian tersebut menjadi simbol ekstremisme Islam.
Menteri tersebut juga akan menutup madrasah swasta dan sekolah agama Islam. Setelah rapat kabinet Senin lalu, juru bicara pemerintah Keheliya Rambukwella menyebut semua langkah yang diambil adalah demi keamanan nasional. Dia mengatakan akan ada lebih banyak pembicaraan kabinet sebelum larangan itu disahkan dan diterapkan.
"Kami akan terus bergerak maju atas dasar keamanan nasional, tidak ada yang lain,” katanya, dilansir di The New Arab, Selasa (16/3).
Burqa sebenarnya adalah pemandangan yang relatif langka di Sri Lanka, tetapi umat Islam menyatakan keterkejutannya. Seorang mahasiswa akuntansi berusia 21 tahun yang mengidentifikasi dirinya sebagai Aysha mengatakan pelarangan burqa akan sangat merugikan dirinya dan membatasi keyakinannya.
"Keluar tanpa niqab seperti berjalan tanpa pakaian, tetapi saya akan menutupi wajah saya dengan masker,” katanya.
Dia mempertanyakan mengapa niqab tidak dapat diterima ketika masker diwajibkan di depan umum sejak pandemi virus corona meletus. Adapun Silma Mohideen, seorang penasihat wanita, mengatakan wanita Muslim juga menghadapi permusuhan ketika pemerintah melarang sementara penutup wajah setelah serangan 2019, yang dilakukan oleh milisi lokal.
"Ketika tiba-tiba mereka diminta melepasnya (niqab), hampir tidak mungkin bagi mereka dan mereka mengatakan rasanya seperti diminta berjalan telanjang di jalan," kata Mohideen.
Dewan Muslim Sri Lanka menuduh pemerintah menjadikan Muslim sebagai simbol kebencian untuk memenangkan suara mayoritas Buddha Sinhala. Juru bicara Dewan Muslim Hilmy Ahamed menyoroti bagaimana pemerintah telah secara paksa mengkremasi lebih dari 350 Muslim yang meninggal karena virus corona, mengabaikan permohonan mengizinkan penguburan sejalan dengan upacara pemakaman Islam.
Pemerintah hanya menghentikan kremasi paksa bulan ini setelah mendapat tekanan dari 57 negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Namun, penguburan hanya diperbolehkan di satu lokasi terpencil.
"Setiap aspek kehidupan kami telah diperiksa dengan cermat. Dibuat agar terlihat seolah-olah Muslimlah yang bertanggung jawab atas setiap kesengsaraan yang dihadapi Sri Lanka," kata Mohideen.
Aktivis hak-hak Muslim Shreen Saroor mengatakan Sri Lanka mungkin berani dengan pemungutan suara referendum sempit di Swiss pekan lalu yang melarang penutup wajah penuh di depan umum. "Sri Lanka telah mengambil contoh yang salah dari seluruh dunia," katanya.
Komisaris Tinggi Pakistan untuk Sri Lanka Saad Khattak memperingatkan larangan yang diusulkan tidak hanya akan melukai perasaan Muslim Sri Lanka, tapi juga Musim di seluruh dunia. Larangan yang diusulkan itu muncul menjelang debat di Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa minggu depan tentang mosi yang mendesak Kolombo untuk memastikan hak-hak agama minoritas.