REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Suharso Monoarfa, mengatakan kerja politik partainya semakin sulit setelah kasus korupsi yang menimpa Muhammad Romahurmuziy. Apalagi saat itu PPP dianggap masih berkonflik, karena adanya dualisme kepengurusan.
"Problemnya adalah ketika kemudian ada musibah yang besar sekali terjadi pada kita pada waktu itu (2019)," ujar Suharso dalam sebuah diskusi daring, Jumat (19/3).
Setelah itu, pengurus DPP PPP menunjuk Suharso sebagai pelaksana tugas (Plt) Ketua umum. Saat itu, ia sadar bahwa pekerjaannya terasa sangat berat karena kasus tersebut terjadi menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2019 yang menurunkan elektabilitas PPP.
Hal itu membuat Suharso mendatangi Djan Faridz, yang saat itu belum masuk ke dalam kepengurusan PPP. Menurutnya, Djan adalah sosok sahabat yang dapat memberikan solusi untuk menyelesaikan masalah di partai berlambang Ka'bah itu.
"Saya datangi dulu Pak Djan Faridz. 'Gimana ini Djan, gimana cara kita nyelamatin partai ini. Bagaimana saya dibantu dan seterusnya' itu karena beliau. Jadi sebagai sahabat saya, kita teman, saya perlu teman berpikir di sama tingkat zamannya," ujar Suharso.
Dari situlah, setelah gelaran Muktamar yang menetapkannya sebagai Ketua Umum PPP, ia menekankan pentingnya persatuan di internal partai. Persatuan yang diharapkan dapat menghadirkan pembangunan untuk partai dalam mengembalikan kejayaannya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa masuknya Djan ke dalam kepengurusan bukan merupakan islah atau penyatuan terhadap dualisme yang pernah terjadi. Pasalnya, islah disebut Suharso sudah terjadi pada 2016 hingga disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM.
"Jadi itu sudah kelar, bagi orang di luar PPP mungkin banyak yang tidak memahami itu karena legalitas formal kita sudah selesai. Karena saling, waktu itu dibawa ke pengadilan, kita kan sudah lelah, nah lelahnya itu sudah selesai di 2016," ujar Suharso.
Demi menghadapi Pemilu 2024, ia berharap PPP kembali menjadi media yang dapat menampung aspirasi masyarakat dari berbagai elemen dan kelompok. Partai yang kembali menjadi wadah bagi semua umat Islam di Indonesia.
"Ini pekerjaan besar, PPP dulu memang fungsinya itu merajutkan semua, baik yang paling kanan sampai yang paling kiri. Kerja elektoral sedang kita langsungkan sekarang dan memang mengawalinya lebih dulu," ujar Suharso.
Djan Faridz memang perlu dibujuk untuk mau bergabung dengan kepengurusan Suharso. "Merajuk nah itu, saya bilang ke beliau 'Pak Djan Faridz tolong bantu saya, ini tidak mungkin partai untuk ke depan kalau tidak ada tangan-tangan ajaib'. Ada tangan yang hebat untuk membantu," ujar Suharso.
Kemudian Suharso menceritakan, Djan tidak ingin menempati posisi di PPP yang memiliki kerja politik terlalu berat. Ia pun mengamini permintaan mantan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) itu, asalkan ia berada di dalam PPP.
"Jadi saya hormati itu, maka Pak Djan Faridz bergabung dengan kita dengan posisi sebagai majelis kehormatan. Jadi tidak ada yang istemewa menurut saya, istimewa bagi mereka yang tidak kenal pertemanan kami," ujar Suharso.
Saat PPP terbelah, Suharso mengaku tetap berkomunikasi dengan Djan sebagai seorang sahabat. Namun, orang-orang yang tidak paham persahabatannya, melihat keduanya memiliki konflik yang besar.
"Ketika ramai-ramai itu, kita ketemu, tertawa, tersenyum, makan bareng. Sampai kami ini mikir, bagaimana caranya ini diselesaikan, ini saat lagi ramai-ramainya di 2016," ujar Suharso.
Bergabungnya Djan ke dalam kepengurusan, diharapkan semua pihak melupakan konflik yang pernah terjadi di PPP. Pasalnya, semua pihak kini sudah bersatu untuk kembali membuat partai menjadi lebih besar.
PPP, kata Suharso, kini diisi oleh mayoritas generasi muda yang ke depan akan bertugas dalam kerja-kerja elektoral. Hal ini dilakukannya, mengingat generasi muda akan dominan dalam demografi Indonesia hingga 2024.
"Jadi ini tantangan kita ke depan insya Allah dengan doa beliau dan kyai-kyai yang ada di seluruh Indonesia PPP bisa kembali jaya," ujar Suharso.