REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Fitriyanto, Rahmat Fajar
Pada Rabu (17/3) waktu Inggris, tim bulu tangkis Indonesia yang berlaga di All England 2021 mendadak digiring keluar dari arena menyusul hasil penelusuran kontak oleh otoritas kesehatan Inggris (NHS) membuktikan mereka satu pesawat dengan salah seorang penumpang yang positif Covid-19 dalam penerbangan ke Birmingham, sebelumnya. Dipaksa mundurnya skuat Merah Putih bak petir di siang bolong bagi skuat Merah Putih.
Padahal, sejak hari pertama turnamen, tim Indonesia langsung tampil gagah yang ditandai dengan keberhasilan peraih medali emas Asian Games 2018, Jonatan Christie mengamankan babak pertama atas tunggal putra Thailand, Kunlavut Vitidsarn. Wakil Indonesia pada ganda putra, dua pasangan yang menempati 1 dan 2 dunia, yaitu Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, juga sukses mendepak dua wakil tuan rumah dari turnamen bulu tangkis tertua di dunia ini.
Namun, pada Rabu, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto, Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti, dan Anthony Sinisuka Ginting yang semestinya tampil pada hari itu urung berlaga. Nelangsanya, menurut penuturan Praveen Jordan dalam unggahan akun media sosialnya, timnas pun tidak difasilitasi bus untuk kembali ke hotel dari Utilita Arena Birmingham, namun harus berjalan kaki.
Testimoni ini sontak memunculkan protes keras dari ofisial yang mendampingi atlet karena keputusan yang sangat tiba-tiba. PBSI sebagai induk organisasi turut meradang mendengar hal itu.
Mereka menggandeng Kementerian Luar Negeri RI untuk mencari solusi diplomasi. Keputusan mencurigakan BWF dengan memaksa mundur tim Indonesia dari All England memunculkan kecurigaan karena timnas mendapat perlakuan diskriminatif dari panitia pelaksana. Seluruh anggota timnas diminta menjalani isolasi di hotel selama 10 hari dan tidak lagi mempunyai kesempatan untuk kembali bertanding.
Anehnya, sebelum hari pelaksanaan ada sejumlah peserta yang dinyatakan positif Covid-19, namun kurang dari 24 jam mereka dinyatakan negatif dan bisa ikut berlaga. Sementara dari hasil uji usap PCR terhadap timnas yang dilakukan dua kali di Birmingham menunjukkan kedua hasil tes itu negatif.
Ketua Umum PP PBSI, Agung Firman Sampurna mengaku seperti disambar petir mendengar kabar getir mengenai dipaksa mundur nya tim Indonesia di ajang All England 2021. Dalam jumpa pers, Kamis (18/3) pagi, Agung mengungkap beberapa fakta terkait insiden ini.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi, bagaikan disambar geledek, bahwa tim bulu tangkis Indonesia dipaksa mundur dari All England 2021," buka Agung.
"Pertama kali kita tidak diperbolehkan bertanding lagi karena kita ada dalam satu pesawat dengan penderita Covid-19 di penerbangan dari Istanbul ke Birmingham. Namun demikian sampai dengan hari ini kita tidak diberitahu siapa penumpang tersebut," kata Agung melanjutkan.
Agung masih menantikan keterangan resmi Badan Layanan Kesehatan Inggris (NHS) untuk memberi informasi siapa penumpang pesawat yang dimaksud. PBSI menuding NHS bertanggung jawab karena menjadi pihak yang menyebabkan timnas Indonesia dipaksa mundr oleh BWF dari All England.
"Pada saat yang sama di pesawat yang sama ada pemain dan pelatih dari Turki, tetap dapat bertanding," jelasnya.
Pemain Turki yang dimaksud Agung adalah Neslihan Yigit. Meski akhirnya Yigit juga dipaksa mundur oleh BWF dari All England pada Kamis, keputusan itu terlambat dan tidak sportif. Belakangan, ofisial Turki juga mengungkapkan ketidakpuasannya atas langkah BWF terhadap Yigit itu.
Kecurigaan juga menyeruak setelah ada anggapan Indonesia sengaja disingkirkan agar tidak bisa menyabet gelar juara satu pun di Birmingham melalui aksi diskriminatif. Penilaian itu sendiri didasarkan kepada hasil pertandingan hari pertama sekaligus terakhir timnas ketika dua ganda putra Indonesia mengalahkan wakil Inggris yaitu Matthew Clare/Ethan Van Leeuwen yang dikalahkan Minions, dan Ben Lane/Sean Vendy yang ditaklukkan The Daddies.
Pada laga Hendra/Ahsan melawan Lane/vendy, salah seorang hakim garis diketahui berasal dari Inggris, padahal ketentuan BWF mengharuskan hal itu tidak dibolehkan. Saat match point gim terakhir, hakim garis tersebut sempat memberi peringatan kepada Ahsan yang dibalas dengan protes karena pebulu tangkis asal Palembang itu merasa tidak melakukan pelanggaran.
PBSI berusaha berlapang dada menerima keputusan itu dan tidak menunjuk kesalahan kepada BWF dan panitia pelaksana yang sejatinya hanya menaati aturan NHS. Namun perjuangan belum berhenti. Yakni perjuangan memulangkan segera para pemain ke Tanah Air.
PBSI bersama Kemenlu kini masih berusaha memulangkan ke-24 anggota timnas dari Inggris. Pasalnya, berdasarkan aturan otoritas Inggris, setiap warga negara asing yang berada dalam penerbangan yang di dalamnya terdapat penumpang positif Covid-19, harus menjalani isolasi selama 10 hari. Itu artinya, skuat Merah Putih masih harus berada di Inggris hingga 23 Maret, meski All England sudah berakhir pada 21 Maret.
Kepala Bidang Humas dan Media PB PBSI Broto Happy Wondomisnowo ketika berbincang dengan Republika, Jumat (19/3) berharap Tim Indonesia bisa pulang lebih cepat.
"Kita belum tahu kapan Mereka pulang. Namun kita tengah berupaya, dibantu KBRI Indonesia di Inggris agar bisa pulang lebih cepat. Kita juga belum tahu apakah nanti ada penjemputan khusus untuk Tim Indonesia." kata Broto.
Duta Besar RI untuk Inggris, Desra Percaya pun sepemikiran dengan PBSI. Dia dan jajarannya masih berusaha memulangkan timnas bulu tangkis Indonesia dengan melobi NHS dan pihak terkait.
Desra pun telah melakukan komunikasi marathon setelah kejadian dipaksa mundurnya kontingen bulu tangkis Indonesia dari Kejuaraan All England 2021 di Birmingham. Desra mengatakan, melakukan komunikasi dengan berbagai pihak antara lain Dubes Inggris di Jakarta, Menteri Luar Negeri Inggris, Prsiden BWF dan Dokter dari NHS.
Desra menuturkan dari pertemuan dengan Kementerian Luar Negeri Inggris dan NHS tersebut ia menyimpulkan bahwa tak ada maksud dari mereka mendiskriminasi dan memperlakukan tak fair kepada seluruh tim termasuk Indonesia. Mereka juga meminta maaf jika ada keputusan yang dianggap mendiskriminasi kontingen Indonesia.
“Dari berbagai komunikasi dan upaya yang telah kami lakukan dapat saya simpulkan bahwa tak ada kebijakan yang bersifat diskrimnatif namun karena kompetensi BWF tak baik dalam pelaksanaan kebijakan telah terjadi diskriminasi dan perlakuan tak fair,” kata Desra dalam konferensi pers virtual, Jumat (19/3).
Indonesia juga menyayangkan sikap Inggris yang tidak konsisten. Dalam masa ketibaan peserta, mereka tidak memberlakukan protokol kesehatan dengan ketat, apalagi menerapkan gelembung sebagaimana yang dilakukan pada turnamen seri Asia di Thailand Open, Januari silam.
Bahkan peserta dari dari Denmark, India, dan Thailand masih bisa ikut bertanding hanya bermodal uji PCR ulang yang hasilnya keluar kurang dari satu hari setelah dinyatakan positif. PBSI tegas mengatakan peristiwa ini tidak hanya mencoreng sportivitas, namun juga mencederai harga diri bangsa yang terluka oleh tindakan diskriminatif.
Akan sulit bagi PBSI jika menyuarakan memboikot All England yang sudah berjalan memasuki perempat final. Namun, paling tidak dengan protes keras dan memperjuangkan nasib timnas akan menjadi cermin harga diri dan daya tawar bangsa di mata internasional.