REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polisi Sri Lanka menangkap pemimpin politik Muslim, Azath Salley pada Selasa (16/3) atas perintah Jaksa Agung Dappula de Livera. Salley telah ditahan selama tiga bulan berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Terorisme (PTA) di negara itu. Salley dituduh mendukung ekstremisme Islam dalam pidatonya baru-baru ini.
De Livera menyarankan Departemen Investigasi Kriminal untuk menangkap Salley berdasarkan KUHP, PTA dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Sejak diberlakukan pada 1979, PTA sendiri telah banyak digunakan untuk menahan dan menangkap orang yang diduga terkait dengan kelompok separatis Tamil.
PTA juga digunakan oleh Pemerintah Sri Lanka untuk menekan lawan politik dan pekerja militan. Pengakuan yang diambil secara paksa oleh polisi berdasarkan undang-undang ini dapat digunakan sebagai bukti melawan para korban. Sementara itu, ICCPR juga digunakan untuk menangkap orang, menuduh mereka memfitnah Buddha atau menyebarkan ekstremisme Muslim.
Dikutip dari laman wsws, Jum’at (19/3), Salley merupakan memimpin Aliansi Persatuan Nasional (NUA) dan pernah menjadi gubernur Provinsi Barat di bawah pemerintahan sebelumnya. Dia telah ditahan karena diduga menyatakan bahwa hukum Syariah Muslim dan Alquran tidak dapat diubah, dan ia hanya akan menghormati hukum tersebut, bukan hukum negara itu.
Tuduhan lebih lanjut telah dilemparkan terhadap Salley sejak penangkapannya. Juru bicara polisi, Ajith Rohana mengatakan kepada media bahwa pemimpin Muslim itu juga diperiksa terkait pemboman teroris 21 April 2019 di tiga Gereja Katolik dan dua hotel. Serangan yang dilakukan oleh kelompok Islam yang didukung ISIS tersebut menewaskan lebih dari 270 orang dan melukai 500 lainnya.