REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung yakin bahwa mayoritas masyarakat tak mendukung wacana masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Menurutnya, jika wacana itu terealisasi, hal tersebut merupakan indikasi mundurnya demokrasi di Indonesia.
"Saya kira, kita jangan lagi set back mundur membicarakan masa jabatan presiden yang dulu kita punya trauma yang cukup besar," ujar Doli dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (20/3).
Menurutnya, tidak adanya batas masa jabatan presiden selama Orde Lama dan Baru, justru membuat semua hal tak sepenuhnya berjalan baik. Reformasi yang dilakukan pada 1998 merupakan puncak kekecewaan masyarakat dari sistem tersebut.
Hasil dari reformasi saat itu, dinilainya memberi banyak manfaat dan kemajuan yang dirasakan bangsa Indonesia saat ini. Sehingga klaim yang menyebut bahwa rakyat mendukung agar Presiden Joko Widodo tiga periode adalah salah.
"Hasil dari amandemen UUD 1945 dalam konteks reformasi itu banyak kemajuan-kemajuan yang sudah kita dapatkan. Saya tidak yakin rakyat dilibatkan dalam masalah ini (tiga periode masa jabatan presiden) akan memberikan dukungan," ujar Doli.
Diketahui, politikus Partai Gerindra, Arief Poyouno mendukung adanya perubahan amandemen untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Hal itu, ia ungkapkan, karena ia memang ingin menampar, menjerumuskan, dan mencari muka kepada Presiden Joko Widodo ihwal wacana tersebut.
"Memang saya mau nampar Pak Jokowi, mau menjerumuskan Pak Jokowi dan cari muka," ujar Arief dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (20/3).
Arief ingin menampar Jokowi, agar mantan Gubernur DKI Jakarta itu sadar bahwa rakyatlah yang menginginkan hal tersebut. Dia menilai, Jokowi adalah sosok yang tepat dalam menjaga kestabilan negara jika menjabat selama tiga periode.
"Saya menunjukkan muka saya sebagai rakyat ke Jokowi, bahwa Pak Jokowi bahwa bapak itu harus menyelamatkan negeri ini. Anda dibutuhkan kembali untuk satu periode," ujar Arief.