Sabtu 20 Mar 2021 14:01 WIB

Buruh Garmen Berhenti Bekerja Lawan Kudeta Myanmar

Industri garmen memainkan peran kunci dalam perekonomian Myanmar, khususnya ekspor

Rep: dwina agustin/ Red: Hiru Muhammad
Demonstran wanita berlatih sling shot selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar,  Kamis (18/3). Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.
Foto: STRINGER/EPA
Demonstran wanita berlatih sling shot selama protes menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Kamis (18/3). Protes anti-kudeta terus berlanjut meskipun tindakan keras terhadap demonstran semakin intensif oleh pasukan keamanan.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK--Serikat buruh Federasi Pekerja Garmen di Myanmar dan lainnya telah melakukan pemogokan umum untuk memprotes kudeta pada 1 Februari. Mereka mendesak merek internasional besar seperti H&M dan Mango untuk mengecam pengambilalihan tersebut."Jika kami kembali bekerja dan bekerja untuk sistem, masa depan kami berada dalam kegelapan, dan kami akan kehilangan hak-hak tenaga kerja dan bahkan hak asasi manusia kami,” kata Tin Tin Wei yang telah menjadi pekerja pabrik pakaian sejak usia 13 tahun.

Desakan buruh mendapatkan tanggapan beragam dari perusahaan, hanya sedikit yang mengatakan akan menghentikan bisnis di Myanmar. Kebanyakan pihak lain telah mengeluarkan pernyataan yang berhenti mengambil tindakan, sementara mengecam kudeta, mereka ingin mendukung pekerja dengan memberi pekerjaan.

Persatuan yang diikuti Tin Tin Wei dan Konfederasi Serikat Pekerja di Myanmar juga telah menuntut sanksi internasional yang komprehensif, bukan sanksi yang ditargetkan beberapa orang. Cara ini untuk menjatuhkan junta yang menggulingkan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi.

Tapi, sanksi komprehensif dapat menghancurkan mata pencaharian lebih dari 600.000 pekerja garmen. Hanya saja, beberapa pemimpin serikat mengatakan mereka lebih suka melihat PHK besar-besaran daripada menanggung penindasan militer."Saya perlu melakukan semacam pengorbanan dalam jangka pendek untuk jangka panjang untuk generasi penerus kita,” kata Tin Tin Wei, yang merupakan satu-satunya pencari nafkah di keluarganya dan telah menerima sumbangan makanan.

Industri garmen memainkan peran kunci dalam perekonomian Myanmar, khususnya sektor ekspor. Sekitar sepertiga dari total ekspor barang dagangan Myanmar berasal dari tekstil dan pakaian jadi, senilai 4,59 miliar dolar AS pada 2018. Jumlah tersebut, data terbaru dari Kamar Dagang Eropa di Myanmar, naik dari 9 persen atau 900 juta dolar AS pada 2012 karena sanksi internasional dijatuhkan.

Ekspor pakaian Myanmar sebagian besar dikirim ke Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan karena perjanjian perdagangan yang menguntungkan. Amerika Serikat menyumbang 5,5 persen dari ekspor Myanmar, dengan pakaian, alas kaki, dan koper mewakili sebagian besar.

Menurut Kamar Dagang Eropa di Myanmar, hampir 70 persen dari pabrik garmen di Myanmar dimiliki oleh orang asing dan sebagian besar adalah milik Cina. Merek internasional yang menggunakan pabrik tidak langsung mempekerjakan pekerja, seringkali bergantung pada jaringan kontraktor dan subkontraktor untuk memproduksi barang.

Gerakan pembangkangan sipil atau CDM pun telah melibatkan pekerja kereta api, supir truk, rumah sakit, pegawai bank, dan banyak lainnya yang bertekad untuk melumpuhkan perekonomian. Tujuannya adalah sama sekali tidak berpartisipasi dengan junta."Kami yakin CDM benar-benar berfungsi. Jadi kami termotivasi untuk melanjutkan," kata Sein Htay, seorang penyelenggara pekerja migran yang kembali ke Myanmar dari Thailand. 

sumber : ap
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement