REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pejabat Dana Moneter Internasional (IMF) pada Sabtu (20/3) menunjukkan adanya tanda-tanda dari pemulihan ekonomi global yang lebih kuat. Namun, memperingatkan risiko signifikan tetap ada, termasuk munculnya mutasi virus corona.
Seperti dilansir dari Reuters, Ahad (21/3), Wakil Direktur Pelaksana Pertama IMF Geoffrey Okamoto, mengatakan, pada awal April, IMF akan memperbarui perkiraan Januari untuk pertumbuhan global sebesar 5,5 persen untuk mencerminkan pengeluaran stimulus fiskal tambahan di Amerika Serikat, tetapi tidak memberikan rincian.
Dalam pidatonya di China Development Forum, Okamoto menyuarakan keprihatinan tentang pertumbuhan divergensi antara negara maju dan pasar berkembang, dengan sekitar 90 juta orang terlihat jatuh di bawah ambang kemiskinan ekstrem sejak pandemi dimulai.
Okamoto mengatakan, China telah pulih ke tingkat pertumbuhan sebelum pandemi di depan semua negara besar, meskipun konsumsi swasta masih tertinggal dari investasi di sana.
Di luar China, kata dia, ada tanda-tanda mengkhawatirkan akan melebarnya kesenjangan antara negara maju dan pasar negara berkembang.
IMF memproyeksikan pendapatan kumulatif per kapita di negara-negara berkembang, tidak termasuk China, antara tahun 2020 dan 2022 akan menjadi 22 persen lebih rendah daripada jika tidak terjadi pandemi, yang akan mendorong lebih banyak orang ke dalam kemiskinan, katanya.
Prospek keseluruhan tetap sangat tidak pasti, kata Okamoto. Ia menambahkan bahwa tidak jelas berapa lama pandemi akan berlangsung dan akses ke vaksin tetap sangat tidak merata, baik di negara maju maupun berkembang.
Okamoto mengatakan beberapa negara juga memiliki sedikit ruang untuk meningkatkan pengeluaran untuk memerangi pandemi dan mengurangi dampak ekonominya, terutama negara berpenghasilan rendah dengan tingkat utang yang tinggi.
Dia mengatakan kondisi keuangan yang lebih ketat dapat memperburuk kerentanan di negara-negara dengan hutang publik dan swasta yang tinggi, mengutip kenaikan imbal hasil obligasi baru-baru ini yang dipicu oleh ekspektasi pasar akan penarikan stimulus moneter sebelumnya.
Dia mengatakan krisis juga bisa meninggalkan luka yang dalam. Di masa lalu, negara-negara maju telah melihat output mereka berkurang hampir 5 persen di bawah tren pra-resesi lima tahun setelah dimulainya resesi, dan bisa lebih buruk lagi di negara-negara yang tidak mampu memberikan respons makroekonomi yang kuat dan memiliki sektor jasa yang lebih besar.