REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar keuangan Asia cukup tertahan pada awal pekan ini setelah mata uang Turki, lira, mengalami pelemahan terhadap dolar AS. Sementara itu, stabilitas saham dan obligasi masih terjaga dengan baik.
Dilansir Reuters, Senin (22/3), dolar AS telah menguat 12 persen atas lira. Kini lira telah meyentuh angka 8,1 per dolar AS. Sebelumnya, lira bahkan pernah berada di level 8,4 per dolar AS.
Pelemahan lira ini terjadi setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengganti gubernur bank sentral Turki. Pergantian itu pun sontak mengejutkan pasar.
“Keputusan Erdogan untuk memecat Gubernur Agbal, yang telah berusaha untuk menanamkan stabilitas harga dan persepsi independensi Bank, sekarang menimbulkan pertanyaan apakah Gubernur baru akan menurunkan suku bunga sambil tetap bertujuan untuk melawan inflasi yang lebih tinggi,” kata Rodrigo Catril, seorang ahli strategi FX senior di NAB.
Setelah sempat terguncang, sentimen tampaknya menjadi stabil dan indeks MSCI dari saham Asia-Pasifik bergerak cenderung datar. Meski demikian, indeks Nikkei 225 Jepang mengalami koreksi 1,4 persen karena penurunan lira ini.
Nasdaq berjangka melambung menjadi 0,1 persen, sedangkan S&P 500 berjangka turun 0,1 persen. Sementara imbal hasil US Treasury 10- tahun turun beberapa basis poin menjadi 1,71 persen.
Investor masih berjuang untuk menghadapi lonjakan imbal hasil obligasi AS baru-baru ini. Kenaikan imbal hasil tersebut telah membuat penilaian ekuitas untuk beberapa sektor terutama teknologi tampak meregang.
Obligasi kembali goyah pada hari Jumat ketika Federal Reserve memutuskan untuk tidak memperpanjang konsesi modal bagi bank. Hal ini dapat mengurangi permintaan untuk Treasury.
The Fed berjanji untuk mencegah ketegangan dalam sistem keuangan. Sejumlah pejabat The Fed termasuk gubernur Jerome Powell mengatakan bank sentral akan memberikan banyak peluang untuk volatilitas pasar.