LENGKONG, AYOBANDUNG.COM -- Nama Jenderal Abdul Haris (A.H) Nasution mengingatkan kita semua pada peristiwa G30S/PKI. Ia menjadi salah satu target pemberontakan pada 30 September 1965. Beruntung, ia berhasil lolos dari sergapan para pemberontak.
Namun jauh sebelum itu, Nasution sebenarnya telah benyak terlibat dalam sejumlah pergerakan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Termasuk juga pada peristiwa Bandung Lautan Api pada 23 Maret 1946.
Saat peristiwa tersebut, Nasution menjabat sebagai Komandan Divisi III (saat ini Kodam III/Siliwangi). Padahal, ia masih berusia 28 tahun.
Saat itu ia berpangkat kolonel. Pria yang lahir di Kotanopan, Sumatra Utara, 3 Desember 1918, tersebut menjadi salah satu tokoh sentral. Ia disebut-sebut yang bertanggung jawab akan nasib rakyat serta anak buahnya.
Ia terlibat dalam musyawarah yang dilakukan untuk pengambilan keputusan yang mengarah kepada peristiwa Bandung Lautan Api.
Saat itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Komandan Divisi III TRI, Kolonel AH Nasution, menyarankan agar para pejuang Bandung memenuhi ultimatum Sekutu.
Sejatinya, Nasution dan para perwira lainnya enggan menyerahkan Bandung. Namun, dia harus taat apa kata perdana menteri.
Sebagai perwira profesional, dengan pengalaman di KNIL, sudah seharusnya Nasution tunduk pada apa kata pemerintah. Nasution lalu melakukan rapat bersama pimpinan militer Indonesia lainnya. Mereka sepakat tidak mempermudah kehadiran Tentara Sekutu di Bandung.
Perintah Syahrir sebagai Perdana Menteri tetap ditaati, tetapi diputuskan akan ada Operasi pembakaran Bandung.
Operasi ini disebut sebagai operasi “bumihangus”. Keputusan untuk membumihanguskan kota Bandung diambil lewat musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3), yang dilakukan di depan seluruh kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, 23 Maret 1946.
Hasil musyawarah itu lalu diumumkan oleh Nasution sebagai Komandan Divisi III TRI. Ia juga memerintahkan evakuasi Kota Bandung.
Lalu, hari itu juga, rombongan besar masyarakat Bandung mengalir. Pembakaran kota berlangsung malam hari sambil para penduduknya pergi meninggalkan Bandung.
Pembumihangusan jadi jalan tengah bagi Nasution. Dia dan orang Indonesia lainnya keluar dari Bandung, seperti perintah Syahrir, tapi dengan membakar kota yang ditinggalkannya itu.
Perintah Syahrir ditaati dan Bandung dibiarkan lepas begitu saja karena sudah jadi lautan api. Hal itu lebih baik ketimbang menyerahkan Kota Bandung begitu saja pada Tentara Sekutu. Sekutu tidak boleh dapat manfaat apapun dari kota Bandung karena sudah terbakar.
Atas jasanya terhadap Kota Bandung dan Indonesia, Pemerintah Kota Bandung mengabadikan namanya sebagai nama jalan.
Nama AH Nasution menjadi nama jalan pada 2003 atau sekitar tiga tahun setelah Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000.
Sebelum bernama Jalan AH Nasution, jalan tersebut bernama Jalan Ujungberung. Kini jalan tersebut membetang dari pertigaan Jalan Ahmad Yani dan Jalan PHH Mustofa hingga Bunderan Cibiru. Panjangnya sekitar 8,5 km.