REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi menyebut sekitar tiga per empat orang yang meninggal karena Covid-19 memiliki virus SARS-CoV-2 di dalam jantungnya. Mereka juga mengalami irama jantung yang tidak normal sebelum meninggal.
Dilansir Science Mag pada Senin (22/3), ahli patologi kardiovaskular di Mayo Clinic, Joseph Maleszewski menyebutkan, temuan itu memberikan gambaran yang sangat bagus tentang hubungan antara virus dan masalah jantung. Para ilmuwan memiliki banyak bukti kerusakan jantung pada pasien Covid-19.
Beberapa orang, misalnya, menunjukkan peningkatan kadar troponin, yaitu molekul yang dilepaskan dalam darah saat jantung terluka. Namun, belum jelas terkait penyebab masalah itu disebabkan virus SARS-CoV-2 yang menyerang jantung secara langsung, atau kerusakan tersebut disebabkan respons imun yang terlalu aktif.
Ahli patologi kardiovaskular di Rumah Sakit Umum Massachusetts, James Stone mengatakan banyak yang belum menemukan virus menggunakan reaksi berantai polimerase waktu nyata (RT-PCR). RT-PCR bekerja dengan cara mendeteksi RNA virus dalam jaringan, kemudian membuat banyak salinan DNA darinya.
Begitu ada cukup DNA, molekul yang disebut penanda fluoresen dapat menempel padanya. Namun, Stone mengatakan, jaringan jantung sering diproses dan diawetkan menggunakan bahan kimia seperti parafin, yang dapat memecah RNA dan mencegah deteksi untuk memulai.
SARS-CoV-2 muncul di 30 jantung pasien dan membuat pasien mengalami fibrilasi atrium baru. Kemudian, pasien juga alami ritme jantung yang cepat dan tidak teratur, hingga detak jantung awal atau ekstra, dibandingkan dengan pasien lain dalam penelitian itu.
Namun, tidak jelas apakah virus tersebut menyerang jantung secara langsung dalam kasus ini. Penelitian menyebutkan, sebagian besar sel jantung yang terinfeksi adalah sel kekebalan, yang dapat diserang SARS-CoV-2 di tempat lain di tubuh, sebelum menyebar ke jantung.
Terlepas dari itu, penelitian tersebut dapat membantu menjelaskan mengapa steroid deksametason sangat membantu untuk beberapa pasien. Obat ini adalah salah satu yang pertama ditemukan untuk mencegah kematian akibat Covid-19 yang parah. Obat ini mengurangi peradangan sehingga mungkin bisa menahan keberadaan sel-sel kekebalan yang menyimpan SARS-CoV-2 di jantung.
Hanya 50 persen pasien yang diobati dengan deksametason memiliki virus di jantung mereka, dibandingkan dengan 90 persen pasien yang tidak menggunakan obat tersebut. Namun dibandingkan dengan uji klinis besar, Ahli Kardiologi di University of Texas Southwestern Medical Center, Nicholas Hendren, mengatakan, jumlah pasien dalam studi baru ini kecil sehingga mustahil mengatakan bahwa satu obat melindungi jantung lebih baik daripada yang lain.
Meski begitu, Maleszewski mengatakan, temuan baru itu adalah seruan untuk bertindak. Para ilmuwan perlu menyelidiki lebih banyak jaringan jantung, tidak hanya untuk melihat bagaimana Covid-19 membunuh pasien, tetapi mencari tahu bagaimana hal ini terhadap pasien sakit jantung.