REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan kebijakan manajemen risiko perusahaan asuransi. Hal ini dilakukan untuk kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa perusahaan asuransi.
Adapun kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 8/ SEOJK.05/2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Beleid yang menggantikan SEOJK Nomor 10/SEOJK.05/2016 tentang Pedaman Penerapan Manajemen Risiko dan Laporan Hasil Penilaian Sendiri Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank (LJKNB).
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Riswinandi mengatakan, peningkatan kegiatan usaha lembaga jasa keuangan non-bank dengan risiko yang semakin kompleks perlu diimbangi dengan penerapan manajemen risiko yang memadai, efektif, dan terukur. “Penerapan manajemen risiko tersebut tidak hanya ditujukan bagi kepentingan LJKNB, tetapi juga bagi kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa dan layanannya," ujarnya melalui makalah OJK Update, seperti dikutip Senin (22/3).
Menurutnya sejumlah manfaat penerapan manajemen risiko bagi LJKNB, termasuk bagi perusahaan asuransi maupun masyarakat. Pertama, perusahaan dapat mengidentifikasi, mengukur, mengendalikan, dan mengendalikan risiko dalam melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik. Kemudian manfaat kedua, perusahaan dapat menjalankan kegiatan usaha sesuai peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat.
“Termasuk senantiasa dapat memenuhi kewajiban konsumen sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan manfaat ketiga adalah bagi masyarakat dalam rangka memperoleh layanan keuangan yang optimal dan terlindungi haknya,” ungkapnya.
SEOJK Manajemen Risiko Asuransi menyebutkan sejumlah ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut sesuai instruksi pasal 25 pada POJK 44/2020 diantaranya penerapan, struktur organisasi dari komite, dan struktur organisasi fungsi manajemen risiko. Selain itu juga terkait hubungan fungsi bisnis dan operasional dengan fungsi manajemen risiko, serta pengelolaan risiko pengembangan atau perluasan kegiatan usaha bagi perusahaan perasuransian.
Dipaparkan pokok-pokok pengaturan dalam SEOJK mencakup penerapan manajemen risiko pada setiap perusahaan asuransi dan reasuransi, baik konvensional maupun syariah. Dalam hal ini, manajemen risiko wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha perusahaan dengan mempertimbangkan perkembangan kondisi dan potensi permasalahan yang dihadapi.
"Perusahaan harus memiliki dan menerapkan strategi, kebijakan, dan prosedur manajemen risiko yang disusun secara tertulis. Strategi, kebijakan dan prosedur manajemen risiko dapat dituangkan dalam bentuk pedoman internal manajemen risiko perusahaan," ucapnya.
Dalam penerapannya, perusahaan asuransi harus mengacu pada standar pedoman penerapan manajemen risiko yang dibuat OJK termasuk berpegang pada empat pilar meliputi pengawasan aktif dari direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah. Lalu kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta penetapan limit risiko.
“Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pengendalian, dan pemantauan risiko serta sistem informasi manajemen risiko. Ditambah sistem pengendalian yang menyeluruh,” ucapnya.
Menurutnya pilar-pilar itu juga mesti diterapkan pada sembilan jenis risiko diantaranya risiko strategis, risiko kredit, risiko hukum, risiko reputasi, risiko operasional, risiko pasar, risiko kepatuhan, risiko asuransi, dan risiko likuiditas. Selanjutnya, masing-masing jenis risiko tersebut dilakukan penilaian profil risiko.
"Penilaian profil risiko, yang mencakup penilaian terhadap risiko yang melekat (inherent risk) dan penilaian terhadap kualitas penerapan manajemen risiko. Penilaian profil risiko perusahaan dilakukan dengan mengacu kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 28/POJK.05/2020 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Lembaga Jasa Keuangan Non-bank," jelasnya.
Namun demikian, dalam pengukuran risiko, perusahaan dapat menggunakan berbagai pendekatan pengukuran risiko, termasuk dengan menggunakan model untuk keperluan internal (internal model). Pengukuran dengan menggunakan internal model dimaksudkan untuk antisipasi perkembangan kegiatan usaha perusahaan yang semakin kompleks maupun antisipasi kebijakan perusahaan pada masa mendatang.
"Penerapan model untuk keperluan internal (internal model) memerlukan berbagai persyaratan minimum, baik kuantitatif maupun kualitatif agar hasil penilaian risiko dapat lebih mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya," ucapnya.
Adapun dalam menerapkan petunjuk teknis OJK tersebut, perusahaan asuransi turut diwajibkan memiliki struktur organisasi manajemen risiko agar pelaksananya bisa efektif semisal ada kehadiran struktur organisasi komite dan struktur organisasi fungsi dari manajemen risiko, yang merupakan satu kesatuan dari struktur organisasi manajemen risiko perusahaan.