REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Bidang Mitigasi dan Gempa bumi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Daryono, mengatakan tsunami Aceh pada 2004 dipicu oleh gempa tektonik. Tsunami Aceh dipastikannya bukan rekayasa senjata nuklir sebagaimana pembahasan yang viral di media sosial beberapa waktu lalu.
"Bukti ilmiah sangat kuat bahwa Tsunami Aceh memang dipicu oleh gempa tektonik, bukan dipicu oleh ledakan nuklir seperti isu yang beredar," kata Daryono di Jakarta, Senin (22/3). Dia menjelaskan bukti-bukti tersebut yaitu data rekaman getaran tanah dalam seismogram menunjukkan adanya rekaman gelombang badan (body) berupa gelombang P (Pressure) yang tercatat tiba lebih awal dibandingkan gelombang S (Shear) yang datang berikutnya, yang selanjutnya diikuti oleh gelombang permukaan (surface).
Munculnya fase-fase gelombang body ini menjadi bukti kuat bahwa gempa dan tsunami Aceh dipicu oleh aktivitas tektonik, bukan ledakan nuklir. Munculnya gelombang S (Shear) yang kuat pada seismogram menunjukkan bahwa deformasi yang terjadi di Samudra Hindia sebelah barat Aceh adalah proses pergeseran (shearing). Pergeseran terjadi secara tiba-tiba pada kerak bumi akibat terjadinya patahan batuan dalam proses gempa tektonik, bukan akibat ledakan nuklir.
Deformasi dasar laut di Samudra Hindia sebelah barat Aceh pada 26 Desember 2004 adalah gempa tektonik yang dibuktikan dengan adanya variasi bentuk awal gelombang P berupa gerakan kompresi (naik) dan dilatasi (turun) pada seismogram yang tercatat di stasiun-stasiun seismik BMKG. Jika sumbernya ledakan nuklir, maka semua catatan seismogram di berbagai stasiun seismik diawali dengan gerakan naik (kompresi) pada gelombang P tersebut.
Gempa tektonik yang memicu Tsunami Aceh 2004 tidak terjadi dengan tiba-tiba. Daryono mengatakan, melainkan melalui proses terjadinya gempa pembuka (foreshocks) yang sudah muncul sejak tahun 2002, saat terjadi Gempa Simeulue dengan magnitudo 7,0 pada 2 November 2002.
Sejak itu terjadilah serangkaian gempa kecil yang terus menerus terjadi yang merupakan gempa pendahuluan hingga puncaknya terjadi gempa berkekuatan 9,2 pada 26 Desember 2004 pukul 08.58 WIB. Fenomena gempa pendahuluan (foreshocks) yang sudah terjadi sejak dua tahun sebelumnya tersebut merupakan bukti kuat bahwa Gempa Aceh 2004 tidak dipicu ledakan nuklir, tetapi gempa tektonik dengan tipeGempa Aceh 2004 membentuk jalur rekahan (rupture) di sepanjang zona subduksi (line source) dari sebelah barat Aceh di selatan hingga Kepulauan Andaman-Nicobar di utara sepanjang sekitar 1500 km.
"Ini adalah bukti bahwa rekahan gempa tektonik terjadi di segmen Megathrust Aceh-Andaman. Rekahan panjang yang terbentuk di sepanjang jalur subduksi lempeng ini adalah bukti bahwa deformasi dasar laut yang terjadi bukan disebabkan oleh ledakan nuklir," katanya.
Jika ledakan nuklir maka deformasi yang terbentuk secara terpusat di satu titik (point source) dan tidak berupa jalur (line source). Selain itu, bukti bahwa guncangan dahsyat di Aceh 2004 dipicu oleh gempa tektonik adalah munculnya serangkaian gempa susulan yang sangat banyak di sepanjang jalur Megathrust Andaman-Nicobar pasca gempa utama.
Tsunami yang dipicu ledakan nuklir tidak akan menghasilkan rekaman gempa susulan yang sangat banyak yang terjadi hingga lebih dari setahun kemudian. Jika tsunami dipicu oleh ledakan nuklir, maka tidak akan ada rekaman gempa susulan tersebut hingga periode yang sangat lama.
Mengenai adanya perubahan data magnitudo dan posisi episentrum gempa Aceh 2004 adalah hal biasa dalam analisis penentuan parameter gempa. Perubahan parameter gempa terjadi karena adanya pemutakhiran data akibat bertambahnya data seismik yang masuk dan digunakan untuk dianalisis oleh petugas di lembaga monitoring gempa.
Makin banyak data gempa yang digunakan maka hasil parameter gempa makin stabil dan akurat hingga diperoleh hasil final. Demikian juga adanya perubahan episenter Gempa Aceh 2006, disebabkan oleh adanya proses rekahan pada sumbar gempa yang bertahap dan terjadi dalam kawasan yang memanjang dari barat Aceh hingga Kepulauan Andaman-Nicobar.