Akhir pekan silam Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memberi tenggat waktu selama satu bulan kepada Israel dan Palestina untuk memohon pengadilan menunda penyelidikan kejahatan perang, asalkan kedua pihak dapat membuktikan bahwa mereka akan melakukan penyelidikan sendiri.
Kepala jaksa ICC mengumumkan pada tanggal 3 Maret lalu, bahwa dia telah membuka penyelidikan penuh atas situasi di wilayah yang diduduki Israel. Hal itu menyulut kemarahan Israel, yang tidak mengakui kedudukan mahkamah yang bermarkas di Den Haag tersebut.
Pemberitahuan penangguhan "dikirim pada tanggal 9 Maret ke semua negara anggota ICC, termasuk semua negara yang menjalankan yurisdiksi - termasuk Israel dan Palestina," kata seorang pejabat di kantor kejaksaan kepada kantor berita AFP, hari Jumat (19/03).
Pemberitahuan tersebut, yang dikirim berdasarkan Pasal 18 dari dokumen pendirian mahkamah, Statuta Roma, memberi waktu satu bulan kepada negara-negara itu untuk memberi tahu kepada hakim bahwa mereka sedang menyelidiki kejahatan yang serupa dengan yang sedang diperiksa oleh ICC, demikian ujar pejabat itu.
Negara kemudian dapat membalas ICC dengan merinci apakah mereka benar-benar melakukan penyelidikan mereka sendiri terhadap tersangka pelaku, dan dapat meminta penundaaan penyelidikan ICC dari kepala jaksa penuntut.
Palestina, yang telah menjadi pihak negara ICC sejak 2015, menyambut baik penyelidikan tersebut dan mengatakan mereka tidak akan meminta penangguhan apa pun.
Penolakan Israel
Pengadilan kejahatan perang permanen satu-satunya di dunia, Mahkamah Pindana Internasional ICC, didirikan pada tahun 2002 untuk mengadili kejahatan kemanusiaan terburuk, di mana pengadilan lokal tidak bersedia atau tidak dapat turun tangan.
Jaksa ICC, Fatou Bensouda mengatakan penyelidikannya akan mencakup situasi di Jalur Gaza yang diblokade bersama dengan Tepi Barat yang diduduki Israel dan Yerusalem timur sejak 2014.
Penyelidikan yang dilakukan mereka terutama akan berfokus pada Perang Gaza 2014, tetapi juga menginvestigasi kematian para demonstran Palestina mulai tahun 2018 dan seterusnya.
Ada "dasar yang masuk akal" untuk meyakini bahwa kejahatan dilakukan oleh kedua belah pihak – yakni oleh Pasukan Pertahanan Israel dan otoritas Israel, dan oleh kelompok bersenjata Hamas dan Palestina, demikian ditandaskan Bensouda setelah menyelesaikan penyelidikan awal pada tahun 2019.
Namun Israel menolak penyelidikan tersebut, dengan mengatakan Mahkamah Internasional tidak memiliki yurisdiksi atas warganya. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, seorang kritikus vokal ICC, mengatakan keputusan untuk membuka penyelidikan itu adalah "inti dari anti semitisme" dan menyatakan Israel "diserang".
Namun, Netanyahu belum menjelaskan apakah Israel akan melawan keputusan itu melalui diplomasi dan opini publik - atau dengan terlibat langsung dengan ICC. Amerika Serikat juga mengkritik penyelidikan ICC dan menyuarakan dukungan bagi sekutunya, Israel.
Israel menyita kartu VIP Pejabat Palestina
Pihak Israel pihak berwenang menyita kartu perbatasan VIP Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki setelah ia kembali dari pertemuan di Mahkamah Pidana Internasional ICC. Demikian disampaikan seorang pejabat Palestina, Ahmed al-Deek kepada Reuters, pada hari Minggu(21/03).
Langkah Israel itu terkait dengan pertemuan Maliki dengan pimpinan ICC, jaksa Fatou Bensouda di kantornya di Den Haag pekan lalu.
Situs berita Israel Walla mengutip pejabat Israel yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan kunjungan Maliki ke ICC menjadi alasan pencabutan kartu VIP-nya, sebuah izin yang diberikan Israel yang memungkinkan para pejabat senior Palestina untuk bergerak bebas melalui perbatasan.
"Ini Menteri Luar Negeri Negara Palestina. Dia tidak mewakili dirinya sendiri. Dia mewakili Palestina, dan kami menganggap ini sebagai serangan terhadap negara Palestina," kata Deek.
Dia menambahkan bahwa petugas Israel menahan dan menginterogasi asisten Maliki selama 90 menit di perbatasan antara Yordania dan Tepi Barat.
rzn/vlz (rtr, afp)