Rabu 24 Mar 2021 03:27 WIB

Peneliti LIPI: Limbah Batu Bara Punya Nilai Ekonomi

Limbah batu bara menjadi bahaya ketika tidak digunakan atau ditumpuk.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Friska Yolandha
Tumpukan limbah b3 fly ash dan bottom ash (FIBA) dari PLTU Ombilin, Sumetera Barat.
Foto: dok. LBH Padang
Tumpukan limbah b3 fly ash dan bottom ash (FIBA) dari PLTU Ombilin, Sumetera Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI, Nurul Taufiqu Rochman menanggapi keputusan pemerintah untuk mengeluarkan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Menurutnya, limbah batu bara dan sawit memang tidak berbahaya.

"Kita tahu bahwa memang tidak ada yang berbahaya. Tidak ada yang B3. Kenapa harus dimasukkan ke B3. Bagaimana mengambil kebijakan waktu itu. Saya sayangkan sekali," kata Nurul Taufiqu Rochman dalam keterangan, Selasa (23/3).

Dia mengatakan, tidak ada negara yang mengkategorikan limbah batu bara dan sawit sebagai B3. Sebagai pakar dan pimpinan peneliti di bidang metalurgi, dia mengaku heran mengapa pembuat kebijakan terdahulu membuat kebijakan itu.

Dia menyatkan limbah batu bara dan sawit menjadi bahaya ketika tidak digunakan atau ditumpuk dalam jumlah banyak. Padahal, dia berpendapat bahwa limbah itu bisa digunakan untuk berbagai produk, seperti batako hingga bahan jalan.

"Komposisinya sudah kami analiasa dan sebagainya tidak ada yang berbahaya. Kerugian besar jika limbah itu tidak digunakan," katanya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan bahwa Indonesia harus meniru negara maju dalam mengelola FABA. Menurutnya, pemerintah sudah tepat menghapus FABA dari daftar limbah berbahaya mengingat nilai ekonomi yang dimiliki.

"Ini bisa dimanfaatkan secara umum. Ini best practice banyak negara. China, Jepang, Vietnam. Sebagai bangunan semen dan jalanan. Di Jepang, bendungan fukushima itu bahan bakunya dari limbah batu bara. Jadi kenapa nggak kita belajar dari itu," katanya.

Hendra menuturkan sejumlah perusahan batu bara, termasuk perushaan PLTU telah melakukan kajian pemanfaatan FABA yang menyatakan bahwa bahan baku tersebut aman digunakan. Namun, dia mengayakan, pemakaian masal memang belum karena masih harus ada clearence.

Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR, Agung Murdifi menyatakan PLN tidak akan membuang limbah batubara dan akan bekerja sama dengan banyak pihak untuk memanfaatkannya. Dia mengatakan, PLN telah telah melakukan berbagai uji coba dan mengembangkan FABA hasil pembakaran PLTU bisa dimanfaatkan.

Misalnya, menjadikan FABA untuk bahan penunjang infrastruktur seperti jalan, conblock, semen, hingga pupuk. Dia mengatakan, di PLTU Tanjung Jati B yang berlokasi di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, limbah FABA diolah menjadi batako, paving dan beton pracetak.

”Hasil olahan dari limbah FABA itu kami manfaatkan untuk merenovasi rumah di sekitar PLTU Tanjung Jati B," kata Agung.

Sebelumnya, FABA dikategorikan menjadi Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan hasil uji laboratorium independen atas Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dan Lethal Dose 50 (LD50) yang sampelnya berasal dari beberapa PLTU, FABA yang dihasilkan tidak mengandung unsur yang membahayakan lingkungan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement