REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia meminta Kementerian Koordinator Perekonomian untuk menggelar rapat koordinasi terbatas (rakortas) untuk menunda keputusan impor beras. Ombudsman menyatakan, keputusan impor beras harus berdasarkan pada data statistik yang valid serta mengacu pada data early warning system (EWS).
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika, mengatakan, keputusan impor perlu ditunda sambil menunggu perkembangan realisasi data dari BPS. "Paling tidak sampai awal Mei 2021," kata Yeka dalam konferensi pers, Rabu (24/3).
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan kenaikan produksi beras pada Januari-April 2021. Kenaikan tersebut didukung oleh naiknya produksi gabah karena luas panen yang berpotensi mengalami kenaikan dari tahun lalu.
Luas panen padi pada empat bulan pertama 2021 ini diperkirakan mencapai 4,86 juta hektare (ha). Luas tersebut naik 26,53 persen dari capaian luas panen Januari-April 2020 yang sebesar 3,84 juta ha.
Dari potensi kenaikan luas panen itu, setidaknya diproyeksikan kenaikan produksi gabah kering giling (GKG) sebesar 26,68 persen dari 19,99 juta ton tahun lalu menjadi 25,37 ton tahun ini. Dari proyeksi itu, produksi beras bisa mencapai 14,54 juta ton. Angka itu naik 26,84 persen dari produksi Januari-April 2020 sebesar 11,46 juta ton.
Yeka mengatakan, sembari impor beras belum dilakukan, Ombudsman mengimbau agar pedagang tidak berspekulasi terhadap harga. Saat ini, petani padi tengah foksu dalam masa panen raya sehingga perlu adanya iklim yang kondusif di dalam negeri.
"Kita menunggu sampai musim panen (selesai) jangan ada spekulasi karena pemerintah bisa sewaktu-waktu mengambil keputusan alternatif," kata dia.
Dia menambahkan, keputusan rencana impor beras yang dilakukan sebelumnya juga berpotensi maladministrasi. Pasalnya berdasarkan data BPS yang ada, secara jelas dapat dipahami bahwa saat ini belum perlu tambahan impor beras.
"Kami akan dalami bagaimana sebetulnya mekanisme rakortas (rapat koordinasi terbatas) dalam penentuan impor beras ini," kata Yeka. Ia menegaskan, adanya potensi maldaministrasi lantara berbagai indikator data yang tersedia tidak menunjukkan perlunya dilakukan impor beras.