REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, pemerintah harus memperjelas siapa sebenarnya kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) dan apa tujuan mereka. Jangan hanya menduga kalau mereka merupakan kelompok teroris.
"Apakah semua orang di KKSB itu beneran KKSB atau warga sipil? Banyak juga mahasiswa yang meninggal karena disebut KKSB," katanya saat dihubungi Republika, Rabu (24/3).
"Sejauh ini, KKSB apa maksudnya kan tidak jelas? Ditambah sekarang kelompok tersebut disebut teroris. Pemerintah harusnya menyelesaikan hal tersebut dengan dialog dan mencari tahu yang sebenarnya bukan langsung labelling kalau mereka kelompok teroris," kata dia.
Menurutnya, KKSB itu seperti kelompok tertentu, tapi tidak jelas mereka itu siapa. Sehingga, pemerintah harusnya mencari tahu pembentukkan kelompok tersebut. Apalagi, di Papua penegakkan hukumnya sangat rendah bahkan tidak ada keadilan disana.
"Banyak masyarakat meninggal di sana karena terjadi ketidakadilan. Apakah kasus di sana disidangkan? Masyarakat di sana marah karena hukum tidak bisa ditegakkan. Hal ini seperti di Aceh dan Timor Timur," kata dia.
Dia menyarankan, pemerintah harus menegakkan keadilan dan hukum di sana. Penyelesaian permasalahan tidak dengan senjata tapi berdialog karena mereka masyarakat Papua sebagian dari Indonesia.
"Sekarang tinggal dari pemerintah mau menegakkan keadilan di sana atau tidak. Kalau tidak, masalah ini akan berlarut terus tidak akan pernah selesai. Ya kalau melawan dan menganggu tinggal menembak warga sana tanpa tahu mereka itu beneran KKSB atau warga sipil yang memang tidak tahu apa-apa. Pemerintah harus luruskan hal ini," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan, tindakan kejahatan yang dilakukan kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) sejajar dengan organisasi teroris. Karena itu, BIN menilai, KKSB merupakan musuh bersama dan harus ditindak tegas.
"Tindak kejahatan yang dilakukan KKSB pada dasarnya menyerupai dan sejajar dengan aksi teror," ujar Deputi VII BIN, Wawan Purwanto, lewat keterangan tertulisnya, Selasa (23/3).
Wawan mengatakan, itu mengacu pada Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU.