REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan memandang perlu memikirkan ulang format penyelenggaraan pesta demokrasi dan politik elektoral agar sesuai dengan prinsip Sila Keempat Pancasila. yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan perwakilan.
"Konsep kita sejatinya adalah perwakilan melalui musyawarah mufakat itu yang penuh hikmat dan kebijaksanaan, bukan demokrasi bebas yang hanya berpikir kompetisi menang-menangan belaka," kata Zulkifli saat memberikan pidato kebangsaannya bertajuk "Membumikan Pancasila, Mengokohkan NKRI" yang disiarkan melalui channel YouTube, Rabu (24/3).
Menurutnya, demokrasi akan melahirkan keadilan dan kesetaraan. Namun, harus dengan satu kunci, yaitu nilai, tanpa nilai-nilai demokrasi hanya omong kosong belaka. Zulkifli berpendapat bahwa tanpa nilai-nilai demokrasi akan melahirkan ketimpangan dan kesenjangan antara kaya dan miskin, pusat-daerah, yang melahirkan ongkos sosial yang tinggi dan merusak persaudaraan kebangsaan.
"Sedih melihat apa yang terjadi di Indonesia pasca-Pemilu Presiden (Pilpres) dan pemilu anggota legislatif pada tahun2019, di daerah dengan karakter pemilih Islam yang kuat, partai nasionali kalah telak, begitu pula sebaliknya. Ini tidak bisa dibiarkan karena membahayakan untuk jangka waktu panjang," ujarnya.
Zulkifli menilai Pilkada pada tahun 2017, 2018, Pemilu2019 dan Pilkada 2020 telah menunjukkan karakter demokrasi yang culas dan berpikir menang-menangan. Menurutnya, politik elektoral berubah menjadi ajang untuk memperebutkan kekuasaan dan pengaruh dengan agenda yang berbeda-beda, tidak peduli masyarakat terpolarisasi secara hebat.
"Bahkan, muncul benih-benih permusuhan dan kebencian yang ongkos sosial budayanya sangat tinggi. Muncul karakter dukungan politik yang kuat dibarengi dengan perbedaan ideologi adalah konsekuensi dari daya tarik akibat polarisasi ini," katanya.
Wakil Ketua MPR RI itu mengajak semua elemen bangsa untuk memikirkan kembali format terbaik apa yang bisa digunakan Indonesia dalam menyelenggarakan politik domestik, terutama dalam hal politik elektoral. Menurut Zulkifli, apa sebenarnya terjemahan dari konsep musyawarah mufakat, dan apa yang dimaksud para pendiri bangsa terkait hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Zulkifli mengatakan bahwa Indonesia sudah beberapa kali melaksanakan Pilpres sangat liberal dengan ongkos politik yang sangat tinggi, banyak yang dipenjara, petugas penyelenggaran pemilu banyak yang meninggal, dan terjadi kerusuhan.
"Namun, akhirnya yang kalah dan menang (para elite) bersatu kembali. Akantetapi, masyarakat tetap bermusuhan, 'cebong-kampret' masih berlanjut sampai sekarang. Ini perlu kita pikirkan ulang," katanya.