REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang Habib Rizieq Shihab (HRS) menyedot perhatian masyarakat. Sidang yang digelar secara online itu ditolak dan diprotes oleh HRS yang berstatus terdakwa pelanggaran kerumunan di Petamburan dan Megamendung. Namun yang menarik Guru Besar Hukum Pidana UII, Mudzakir berpendapat HRS tidak bisa disidang dua kali.
Berita itu pun menduduki peringkat pertama dalam daftar berita terpopuler di Republika.co.id, Rabu (24/3). Selain kabar HRS, ada kabar dari Jhoni Allen Marbun, hingga kini belum dicopot keanggotaannya sebagai wakil rakyat dari Partai Demokrat. Ia selamat dari PAW karena gugatannya ke di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Berikut top 5 news Republika.co.id sepanjang Rabu, 24 Maret 2021:
1. Ahli Hukum Pidana Nilai Perkara HRS tak Boleh Diproses Lagi
JAKARTA — Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir mengatakan, dakwaan atas pelanggaran kerumunan Habib Rizieq Shihab (HRS) di Petamburan dan Megamendung tidak bisa diproses kembali. Hal itu, menurut dia, karena melanggar ketentuan dari Pasal 76 KUHP.
"Itu namanya ne bis in idem (pembelaan hukum yang melarang seseorang diadili dua kali). HRS tidak bisa diproses dua kali," ujar dia kepada Republika.co.id, Rabu (24/3).
Mudzakir melanjutkan, karena tidak bisa diproses dua kali, pengadilan kemudian menggunakan Pasal 160 KUHP. Padahal, langkah tersebut dinilainya juga tidak bisa dilakukan. "Karena, perbuatan pokok itu sudah diselesaikan dengan peradilan denda," tuturnya.
Serupa dengan pelanggaran itu, kata Mudzakir, Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) seharusnya juga tidak bisa melakukan sidang terhadap Habib Rizieq Shihab. Menurut dia, hal itu melanggar kompetensi relatif pengadilan yang hanya memiliki wewenang mengadili suatu perkara sesuai wilayah hukumnya.
"Iya nggak bisa, itu locus delicti. Kalau perkara yang di Petamburan seharusnya sidang di PN Jakpus, kalau yang di Megamendung harusnya PN Bogor," ujar dia.
Dia melanjutkan, persidangan HRS di PN Jaktim menilik pada locus delicti, maka tidak sah karena tidak memiliki wewenang berdasarkan kompetensi relatif pengadilan itu.
"Dari dua hal itu sudah tidak bisa. Jadi, kalau sudah diselesaikan (denda), tidak boleh diadili untuk kedua kalinya," ungkap dia.
Baca berita selengkapnya di sini.